Latest Entries »

Namaku Anita, kelahiran Samarinda, kuliah di fakultas Ekonomi sebuah PTS cukup beken di kota Malang, saat ini semester 6. Kabarnya teman kuliahku bilang aku cukup manis untuk dipandang, dengan ukuran buah dada 34C, tubuhku seolah tak kuat menyangga buah dadaku. Tinggiku 165 cm dan beratku 60 kg, kulitku putih mulus dan pantatku berisi. Tiap kuliah dengan kelebihan yang kupunya aku berusaha menarik perhatian semua orang dengan pakaian ketat dan rok miniku berjalan melenggang. Semua mata tertuju kepadaku ada juga beberapa berdecak kagum atas kemolekan tubuhku dan, aku bangga menyaksikan semua itu.

Terus terang aku sudah tidak perawan sejak usia 18 tahun pada waktu aku di SMA, karena bebasnya pergaulan dan longgarnya tatanan keluargaku aku bebas pergi kemana saja yang kusuka. Keperawananku hilang saat aku melakukan kegiatan “camping” bersama teman-teman saat perpisahan sekolah di suatu tempat pariwisata. Aku tidak menyesali karena kulakukan atas dasar suka sama suka.

Kuliah sore ini adalah dosen favoritku. Faisal namanya, wajahnya ganteng atletis dan banyak sekali mahasiswi yang berusaha menarik perhatiannya pada saat dia mengajar. Bahkan aku pernah dari kakak tingkatku walau dia kelihatan alim sebenarnya piawai juga dalam menaklukkan hati wanita yang diincarnya. Pak Faisal sudah berkeluarga tetapai masih banyak juga mahasiswi yang tergila-gila melihat penampilannya termasuk aku sendiri. Aku pilih tempat duduk paling depan lurus dengan tempat duduknya biar aku dapat dengan mudah dan puas memandangnya. Tak lama kemudian Pak Faisal memasuki ruangan, setelah memberikan salam dan berbasa-basi pelajaran dilanjutkan. Aku tidak dapat konsentrasi pada kuliah yang diajarkannya, pikiranku tertuju pada wajah dan bodinya yang tepat berdiri di depanku. Sesekali kugerakkan kakiku untuk menarik perhatiannya dan dia terpancing, diliriknya rokku yang cukup sempit itu, sreet. Dan dipalingkan wajahnya pada pandangan lain, ah dia kena, pikirku. Dan secara tidak sengaja dilemparkan pandangannya pada daerah dadaku Pak Faisal agak terbelalak melihat belahan dadaku yang seolah mau melompat keluar karena ketatnya T-shirt yang kukenakan.

Merah wajahnya seketika menyadari keadaan ini dan dia pura-pura menulis di papan. Selang beberapa saat dia melanjutkan membahas materi kuliah dan kini aku yang benar-benar terkejut, kulihat celana Pak Faisal ada yang menggembung di bagian depan. Beberapa mahasiswa tersenyum malu memandangnya bahkan ada yang sempat terhenyak sampai menutup mulutnya. Kubayangkan betapa besar batang kemaluan Pak Faisal yang sekarang sembunyi di balik celananya. Aku semakin terkagum dan merinding membayangkan andaikan vaginaku yang sempit ini sempat disinggahi oleh batang kemaluannya. Ketika kuliah usai mahasiswi ramai membicarakan kejadian yang baru berlangsung yaitu menggembungnya celana Pak Faisal.
“Eh, Neti kamu lihat nggak anunya Pak Faisal meradang”, tanya Nina sambil berbisik berbicara dan menutup mulutnya.
“Iya Nin, Aku jadi merinding lho membayangkan, ngeri juga ya, kalau kamu bagaimana Anita”, Tanyanya kepadaku, mereka berdua denganku (jadi bertiga) adalah kelompok belajar yang kadang suka ngerumpi hal-hal yang jorok-jorok untuk selingan, dan kedua temanku juga orangnya fair dia mengaku sama-sama tidak perawan dan senang melakukan hubungan seks dengan orang yang di sukai. Yang jelas ketiganya ini memang sedang berburu Pak Faisal, Karena konon kabarnya Pak Faisal pernah juga terlibat beberapa kali affair dengan mahasiswinya dan semua berjalan santai-santai saja.
“Pasti dong, aku kan duduk depan sendiri jadi aku paling jelas lihat burung raksasanya, benar juga ya kali. Kakak tingkat kita itu yang pernah sama dia pasti ketagihan dibuatnya,..” cerita Anita berapi-api, ” Dan yang jelas aku pengin mendapatkannya”, lanjutnya.

Setelah puas ngerumpi kiri, kanan, depan dan belakang mengupas habis masalah dosen favorit, aku berpisah dengan sahabatku untuk janji bertemu besok dan akan berusaha bertemu dengan Pak Faisal pada minggu depan, aku berjalan kaki karena kebetulan mobil yang biasa kupakai harus mengalami pemeriksaan medis di bengkel. Tak kurasakan ada mobil berjalan pelan mengikutiku sampai akhirnya kira-kira berjarak 300 meter di luar halaman kampus, kaca jendela mobil terbuka dan kudengarkan suara yang tidak asing menawari untuk mengantarku. Aku menoleh dan, deg, deg, deg, jantungku seakan berhenti. Pak Faisal yang baru saja kubicarakan tersenyum manis mengajakku. Tanpa berkata lagi aku langsung membuka pintu kiri dan kuletakkan pantatku pada tempat duduk kiri. Mata Pak Faisal tak luput melihat pahaku yang tersingkap dan dengan cepat kututup pintu serta membenahi letak dudukku yang terlalu sembrono itu.

Mobil berjalan lambat kuperhatikan interior di dalamnya cukup mewah dengan lapisan karpet halus dan bersih serta wangi, aku kerasan di dalam mobilnya. Sesekali mata Pak Faisal mengarah pada belahan dada yang padat berisi, apabila jalan bergelombang tak ayal lagi dadaku ikut turun naik sesuai irama jalan. Tak terasa perjalanan sudah jauh melampaui arah kos-kosanku. Sambil bercerita ringan Pak Faisal memindahkan persnelling tanpa melihatnya dan.. secara tidak sengaja dia menyenggol pahaku, cepat-cepat ditarik tangannya sambil mengucapkan maaf berkali-kali. Aku tersenyum saja padahal aku juga kepingin tangannya berlama-lama di pahaku bahkan tidak hanya di paha saja.

Tak terasa mobil dibelokkan pada restoran yang mewah dengan fasilitas karaoke. Pak Fasial memilih tempat yang asri dengan lokasi pribadi ruang hanya untuk dua orang. Setelah makanan tersedia Pak Faisal menikmati sambil bernyanyi. Merdu juga suaranya, mesra di telinga. Ruangan ber-AC tinggi membuat aku agak dingin, sengaja kurapatkan dudukku untuk tidak terlalu dingin, Pak Faisal masih terus bernyanyi. Dua lagu telah selesai dinyanyikan dan dengan lembut tangannya mulai memeluk bahuku dan.. gila, aku menikmati sekali. Tak lama kemudian dia semakin berani mempermainkan rambutku, aku tetap terpejam dan disentuh bibirku dengan tangannya akhirnya perlahan dan lembut bibirnya merapat di bibirku. Aku tidak menyia-nyiakan keadaan ini dengan cekatan pula kujulurkan lidah kecilku untuk dinikmati dan kami saling berpagukan ketat. Kuhisap mulutnya dia juga membalas tangkas sampai aku hampir kehabisan nafas, dia tidak diam dengan perlahan diraihnya payudaraku dari luar kaos dan tangannya mulai menyibak kaosku. Dingin terasa payudaraku disentuh jari yang kokoh. Putingku tak luput dari jarinya dan kurasakan pentilku mulai mengeras. Aku masih tetap memeluk dan kuciumi lehernya. Perlahan ditarikknya kaosku keatas hingga tinggal BH dan rok miniku saja, dia semakin agresif saja kelihatannya, Pak Faisal berdecak kagum melihat buah dadaku meyembul besar seakan BH-ku tak sanggup menampung semua payudaraku ini. Didekatkan kumisnya pada susuku aku kegelian dan kurasakan hangat lidahnya mengulum pentilku, aku kegelian hebat. Rambut Pak Faisal jadi sasaran untuk menahan geli, aku mengucek dan menjambak rambutnya, tetapi dia semakin menjadi. Susuku diberi cupang hingga nampak merah pekat ganas sekali dia, pikirku.

Perlahan diraihnya leher dan aku ditidurkan di atas sofa, lagu karaoke sendu menambah gairahku semakin tinggi. Pak Faisal tak bosan-bosan menciumi bagian tubuhku dan kurasakan pahaku bersentuhan dengan tangan berbulu milik Pak Faisal. Rokku disibak dan ditariknya keras sehingga pengaitku lepas, gila cing.. kini tinggal celana dalamku yang berwarna ungu serta BH dengan warna yang sama. Pak Faisal semakin bernafsu, mulutnya menjalar kemana-mana aku hanya gelisah dan mengerang, semakin aku mengerang semakin ganas dia melakukan aksinya.
“eeh, Pak, Pak, Faisal, aah”, Aku nggak betah saat dia memainkan vaginaku dengan tangannya dan dielus lembut bulu vaginaku yang mulai basah. Aku kegelian saat jari tengahnya dimasukkan kedalam lubang vaginaku, dia semakin bernafsu.
“hhmm, Hmm”, lenguhnya.

Aku semakin menjadi tak menentu, kekuatanku hilang saat Pak Faisal dengan fasih menaruh lidahnya dalam lubang kemaluanku, digigit-gigit kecil kelentitku yang memanjang dan semakin basah. Bunyi kecipak air kemaluanku menambah Pak Faisal semakin berani menjulurkan lidahnya pada bagian dalam. Aku semakin kegelian. Semakin aku menggeliat mengangkat pantat kurasakan sentuhan lidah dalam vaginaku dan tangan Pak Faisal yang satu juga masih tidak mau lepas pada payudaraku. Lengkap sudah kepuasan saat ini. Semua daerah sensitif milikku telah direngkuhnya. Tangannya sekarang sibuk melepas baju dan kini dia tinggal celana saja. Disuruhnya aku duduk dan dia berdiri, tanganku dituntun ke arah celananya dan disentuhkannya pada benda yang mengeras dibaliknya. Kuelus lembut, kutempelkan mukaku pada celana tersebut terasa berdenyut keras. Aku mulai tak sabar kubuka retsleting celana Pak Faisal, kulihat putih warna celana dalamnya dan.. Astaga kepala kemaluan Pak Faisal ternyata sudah keluar dari kolornya kucoba meraba ujung kemaluannya, keluar air sedikit agak liat. Celana dalam putih kutarik ke bawah dan aku kaget setengah mati, baru kali ini kulihat kemaluan lelaki kaku mendongak ke atas, otot-ototnya kelihatan jelas meradang dan ukurannya tak terbayangkan. Aku was-was, digoyang-goyangkan kemaluannya ke arah mukaku, terasa pipiku seperti dipukul palu. Dengan senyum kupegang kemaluan Pak Faisal dan.. Wuuiihh tanganku tak cukup melingkari bulat kemaluannya dan panjangnya kuperkirakan sekitar 22 cm, dia juga tersenyum melihat kebingunganku. Kulihat dia sambil melongo dan dia tidak menyia-nyiakan waktu dengan mendesakkan kemaluannya ke mulutku.

Mulutku yang kecil tidak muat mengulum semuanya hingga masih banyak yang tersisa di luar. Aku dengan menganga penuh kususahan agar kemaluan Pak Faisal masuk dalam rongga mulutku, tetapi masih tidak bisa. Akhirnya aku jilati secara merata, dia mulai menggelinjang dan melenguh. Mulai dari ujung kugerakkan masuk dan keluar dengan mulutku dia semakin tidak karuan juga geraknya. Dengan susah payah kukelomoh kemaluan Pak Faisal yang besarnya seperti botol, semakin cepat dan semakin cepat. Kurasakan ada cairan manis keluar sedikit di mulutku. Kuhisap semakin kuat dan kuat, Pak Faisal pun semakin keras erangannya. Pak Faisal mulai ingat tangannya bekerja lagi mengelus vaginaku yang mulai mengering basah kembali. Mulutku masih penuh kemaluan Pak Faisal dengan gerakan keluar masuk seperti penyanyi karaoke.

Aku tersentak merasakan Pak Faisal menarik kemaluannya agak keras menjauh dari mulutku dan dengan sigap ditidurkannya aku di atas karpet, kedua kakiku diangkat diletakkan di atas pundaknya kiri kanan sehingga posisiku mengangkang, dia bisa melihat dengan jelas vaginaku yang kecil namun kelihatan gemuk seperti bakpau. Kulihat dia mengelus kemaluannya dan menyenggol-nyenggolkan pada vaginaku aku kegelian. Aku bersiap dibukanya kemaluanku dengan tangan kiri dan tangan kanan menuntun penisnya yang gede menuju lubang vaginaku. Didorongnya perlahan, sreett, dia melihatku sambil tersenyum dan dicobanya sekali lagi, mulai kurasakan ujung kemaluan Pak Faisal masuk perlahan. Aku mulai geli tetapi agak sakit sedikit. Pak Faisal melihatku meringis menahan sakit dia berhenti dan bertanya, “Sakit ya..”, Aku tidak menjawab hanya kupejamkan mataku ingin cepat merasakan kemaluan besarnya itu. Digoyangnya perlahan dan.. Bleess digenjotnya kuat pantatnya kedepan hingga aku menjerit, “aauu.” Kutahan pantat Pak Faisal untuk tidak bergerak. Rupanya dia mengerti vaginaku agak sakit dan dia juga ikut diam sesaat. Kurasakan kemaluan Pak Faisal berdenyut dan aku tidak mau ketinggalan. Aku berusaha mengejan sehingga kemaluan Pak Faisal merasa kupijit-pijit. Selang beberapa saat vaginaku rupanya sudah dapat menerima semua kemaluan Pak Faisal dengan baik dan mulai berair sehingga ini memudahkan Pak Faisal untuk bergerak. Aku mulai basah dan terasa ada kenikmatan mengalir di sela pahaku. Perlahan Pak Faisal menggerakkan pantatnya kebelakang dan kedepan, aku mulai kegelian dan nikmat. Kubantu Pak Faisal dengan ikut menggerakkan pantatku berputar.

“Aduuhh, Anita”, erang Pak Faisal menahan laju perputaran pantatku rupanya dia juga kegelian kalau aku menggerakkan pantatku. Ditahannya pantatku kuat-kuat agar tidak berputar lagi, justru dengan menahan pantatku kua-kuat itulah aku menjadi geli dan berusaha untuk melepaskannya dengan cara bergerak berputar lagi tapi dia semakin kuat memegangnya. Kulakukan lagi gerakanku berulang dan kurasakan telur kemaluan Pak Faisal menatap pantatku licin dan geli. Rupanya Pak Faisal termasuk kuat juga berkali-kali kemaluannya mengocek kemaluanku masih tetap saja tidak menunjukkan adanya kelelahan bahkan semakin meradang. Kucoba mempercepat gerakan pantatku berputar semakin tinggi dan cepat kulihat hasilnya Pak Faisal mulai kewalahan dia terpengaruh iramaku Yang semakin lancar. Kuturunkan kakiku mengkamit pinggangnya, dia semakin tidak leluasa untuk bergerak sehingga aku bisa mengaturnya. Aku merasakan sudah tiga kali vaginaku mengeluarkan cairan untuk membasahi kemaluan Pak Faisal tetapi Pak Faisal belum keluar juga.

“Kecepek, kecepek, kecepek”, bunyi kemaluanku saat kemaluan Pak Faisal mengucek habis di dalamnya aku kegelian hebat, “Anita, aku mau keluar, Tahan ya..” Pintanya menyerah. Tanpa membuang waktu kutarik vaginaku dari kemaluannya, kugenggam dan dengan lincah kumasukkan bonggol kemaluan tersebut kedalam mulutku, kukocok, sambil kuhisap kuat-kuat, kuhisap lagi dan dengan cepat mulutku maju mundur untuk mencoba merangsang agar air maninya cepat keluar. Mulutku mulai payah tapi air mani yang kuharapkan tak juga keluar. Kutarik kemaluannya dari mulutku. Pak Faisal tersenyum dan sekarang telentang. Tanpa menunggu komando kupegang kemaluannya dan kutuntun kelubangku dengan mendudukinya. Aku bergerak naik turun dan dia memegang susuku dengan erat. Tidak lama kemudian ditariknya tubuhku melekat di dadanya dan aku juga terasa panas. Sreet, sreett, srreett kurasakan ada semburan hangat bersamaan dengan keluarnya pelicin di vaginaku dia memelukku erat demikian pula aku. Kakinya dijepitkan pada pinggangku kuat-kuat seolah tak bisa lepas. Dia tersenyum puas.
“Nita, tak pernah aku merasakan vagina kecil seperti punyamu ini, nikmat gila memijit punyaku sampai nggak karuan rasanya, aku puas Nit.””aahh Bapak bohong, berarti sering dong ngerasain yang lain”, manjaku.

Dia tidak menjawab hanya tersenyum dan kembali mengulum bibirku kuat-kuat. Akhirnya kita keluar dari karaoke dan pulang menuju ke rumah. Kini tangan Pak Faisal menempel pada pahaku dan tanganku menempel di celananya. Sesekali kusandarkan wajahku di dadanya dan jari nakal Pak Faisal mulai beraksi dengan manja. Kurasakan gumpalan daging kemaluan Pak Faisal mulai mengeras lagi, dia tersenyum melihatku dan dipinggirkan mobilnya pada tempat yang cukup sepi. Kugosok pelan pelan kemaluan Pak Faisal semakin mengeras. “Gila baru main sudah minta lagi rupanya, wah gawat ini bisa nggak pulang dong malam ini”, pikirku.

Diciumnya kening dan pipiku dan dia berkata manja.”Kalau sekarang Nita boleh ngeluarin punyaku ini dimulut seperti tadi”, aku terbelalak rupanya dia mengerti keinginanku tadi belum kesampaian dan inilah saatnya. Tanpa ba bi Bu lagi kuarahkan ke bawah retsleting celananya dan aku kaget ternyata Pak Faisal tidak memakai celana dalam, gila dia sudah ngerti rupanya.
“Lho Kemana CD-nya pak”, tanyaku pura-pura bingung.”Sudah tak taruh di bagasi kok”, jawabnya kalem sambil mendorongkan kepalaku ke arah kemaluannya. Aku menurut, malam ini aku bebas berbuat apa saja terhadap kemaluan Pak Faisal. Kuhisap dengan berbagai cara agar aku puas dan puas, kursi ditarik kebelakang jadilah posisi Pak Faisal seperti orang setengan telentang aku semakin leluasa menghisap kemaluan itu. Tangan Pak Faisal pun tak tinggal diam diselipkan pada vaginaku yang basah lagi, dia juga berusaha memasukkan jari tengahnya penuh ke vaginaku, sesekali diremasnya kuat susuku saat dia kegelian.

Kulepas mulutku, kulihat kemaluannya itu lagi sambil kugosok naik turun seperti onani, aku kagum melihat ukurannya. Kuhisap lagi berulang sampai aku puas. Aku mulai merasakan adanya cairan manis keluar dari ujung kemaluannya. Aku terus berusaha, mulutku mulai payah, kugoyang-goyangkan telur kemaluan Pak Faisal, dia kegelian dengan mengucek vaginaku dalam-dalam.
“eehh, sstt, aahh”, kudengar erangannya mulai tidak karuan, aku terus melakukan hisapan, kuluman dan jilatan pada kemaluan yang membonggol itu dan hasilnya luar biasa.
“Nit, aku mau keluar nih.” Mendengar perkataan itu aku semakin gencar melakukan hisapan sambil tanganku bergerak naik turun untuk mempercepat rangsangannya. Dan tak lama kemudian, “Sreett.. srreett..” kurasakan dua semburan air warna putih pekat masuk mulutku terasa agak manis asin. Karena kuatnya semprotan dari kemaluan Pak Faisal kurasakan ada air mani yang langsung masuk tertelan. Aku bertahan sambil terus menghisap dan dia semakin tidak karuan tingkahnya. Kuhisap terus sampai terasa tidak ada lagi air mani yang keluar dari kemaluan Pak Faisal. Kubersihkan kemaluan Pak Faisal dengan menjilatinya sampai bersih. Aku puas merasakan semuanya dan Pak Faisal pun demikian. Masih terus kujilati dan kudorong keluar masuk kemaluan Pak Faisal dia terus mengerang tidak karuan. Aku bahagia, sebentar kemudian kurasakan kemaluannya mulai mengecil dan lemas, pada saat kecil dan lemas tersebut aku merasakan mulutku mampu melahap kemaluannya secara menyeluruh.

Diciumnya keningku yang basah keringat, tepat pukul 22.00 aku sudah sampai di Kos-ku dan berharap suatu saat Pak Faisal mengajakku kembali. Pada esoknya sahabatku hanya ternganga mendengar ceritaku yang telah berhasil berkencan dengan Pak Faisal sampai keluar air maninya dua kali, dia mengatakan aku curang karena tidak memberi tahu bagaimana cara menggaet Pak Faisal. Aku cuek saja dan sampai kini walaupun aku sudah berkeluarga aku masih sering membayangkan kemaluan Pak Faisal yang tegak menantang itu, hal ini dikarenakan suamiku orangnya pekerja keras sehingga lupa waktu dan jarang memberikan nafkah batin yang cukup, tetapi sayang sejak menikah aku tidak pernah ketemu lagi sama orang yang memiliki kemaluan dan permainan seks yang hebat.

Tamat

 

Aku tinggal di kompleks perumahan BTN di Jakarta. Suamiku termasuk orang yang selalu sibuk. Sebagai arsitek swasta, tugasnya boleh dibilang tidak kenal waktu. Walaupun dia sangat mencintaiku, bahkan mungkin memujaku, aku sering kesepian. Aku sering sendirian dan banyak melamun membayangkan betapa hangatnya dalam sepi itu Mas Adit, begitu nama suamiku, ngeloni aku. Saat-saat seperti itu membuat libidoku naik. Dan apabila aku nggak mampu menahan gairah seksualku, aku ambil buah ketimun yang selalu tersedia di dapur. Aku melakukan masturbasi membayangkan dientot oleh seorang lelaki, yang tidak selalu suamiku sendiri, hingga meraih kepuasan.

Yang sering hadir dalam khayalan seksualku justru Pak Parno, Pak RT di kompleks itu. Walaupun usianya sudah diatas 55 tahun, 20 tahun di atas suamiku dan 27 tahun di atas umurku, kalau membayangkan Pak Parno ini, aku bisa cepat meraih orgasmeku. Bahkan saat-saat aku bersebadan dengan Mas Aditpun, tidak jarang khayalan seksku membayangkan seakan Pak Parnolah yang sedang menggeluti aku. Aku nggak tahu kenapa. Tetapi memang aku akui, selama ini aku selalu membayangkan kemaluan lelaki yang gedee banget. Nafsuku langsung melonjak kalau khayalanku nyampai ke sana. Dari tampilan tubuhnya yang tetap kekar walaupun tua, aku bayangkan kontol Pak Parno juga kekar. Gede, panjang dan pasti tegar dilingkari dengan urat-urat di sekeliling batangnya. Ooohh.., betapa nikmatnya dientot kontol macam itu ..

Di kompleks itu, di antara ibu-ibu atau istri-istri, aku merasa akulah yang paling cantik. Dengan usiaku yang 28 tahun, tinggi 158 cm dan berat 46 kg, orang-orang bilang tubuhku sintal banget. Mereka bilang aku seperti Sarah Ashari, selebrity cantik yang binal adik dari Ayu Ashari bintang sinetron. Apalagi kalau aku sedang memakai celana jeans dengan blus tipis yang membuat buah dadaku yang cukup besar membayang. Hatiku selangit mendengar pujian mereka ini..

Pada suatu ketika, tetangga kami punya hajatan, menyunatkan anaknya. Biasa, kalau ada tetangga yang punya kerepotan, kami se-RT rame-rame membantu. Apa saja, ada yang di dapur, ada yang ngurus pelaminan, ada yang bikin hiasan atau menata makanan dan sebagainya. Aku biasanya selalu kebagian bikin pelaminan. Mereka tahu aku cukup berbakat seni untuk membuat dekorasi pelaminan itu. Mereka selalu puas dengan hasil karyaku.

Aku menggunakan bahan-bahan dekorasi yang biasanya aku beli di Pasar Senen. Pagi itu ada beberapa bahan yang aku butuhkan belum tersedia. Di tengah banyak orang yang pada sibuk macam-macam itu, aku bilang pada Mbak Surti, yang punya hajatan, untuk membeli kekurangan itu.

‘Kebetulan Bu Mar, tuh Pak Parno mau ke Senen, mbonceng saja sama dia’, Bu Kasno nyampaikan padaku sambil nunjuk Pak Parno yang nampak paling sibuk di antara bapak-bapak yang lain.
‘Emangnya Pak Parno mau cari apaan?, aku nanya.
‘Inii, mau ke tukang tenda, milih bentuk tenda yang mau dipasang nanti sore. Sama sekalian sound systemnya’, Pak Parno yang terus sibuk menjawab tanpa menengok padaku.
‘Iyaa deh, aku pulang bentar ya Pak Parno, biar aku titip kunci rumah buat Mas Adit kalau pulang nanti’. Segalanya berjalan seperti air mengalir tanpa menjadikan perhatian pada orang-orang sibuk yang hadir disitu.

Sekitar 10 menit kemudian, dengan celana jeans dan blus kesukaanku, aku sudah duduk di bangku depan, mendampingi Pak Parno yang nyopirin Kijangnya. Udara AC di mobil Pak Parno nyaman banget sesudah sepagi itu diterpa panasnya udara Jakarta. Pelan-pelan terdengar alunan dangdut dari radio Mara yang terdapat di mobil itu.

Saat itu aku jadi ingat kebiasaanku mengkhayal. Dan sekarang ini aku berada dalam mobil hanya berdua dengan Pak Parno yang sering hadir sebagai obyek khayalanku dalam hubungan seksual. Tak bisa kutahan, mataku melirik ke arah selangkangan di bawah kemudi mobilnya. Dia pakai celana drill coklat muda. Aku lihat di arah pandanganku itu nampak menggunung. Aku nggak tahu apakah hal itu biasa. Tetapi khayalanku membayangkan itu mungkin kontolnya yang gede dan panjang.

Saat aku menelan ludahku membayangkan apa di balik celana itu, tiba-tiba tangan Pak Parno nyelonong menepuk pahaku. ‘Dik Marini mau beli apaan? Di Senen sebelah mana?’, sambil dia sertai pertanyaan ini dengan nada ke-bapak-an.
Dan aku bener-bener kaget lho. Aku nggak pernah membayangkan Pak RT ini kalau ngomong sambil meraba yang di ajak ngomong.
‘Kertas emas dan hiasan dinding, Pak. Di sebelah toko mainan di pasar inpress ituu..’, walaupun jantungku langsung berdegup kencang dan nafasku terasa sesak memburu, aku masih berusaha se-akan-akan tangan Pak Parno di pahaku ini bukan hal yang aneh.
Tetapi rupanya Pak Parno nggak berniat mengangkat lagi tangannya dari pahaku, bahkan ketika dia jawab balik, ‘Ooo, yyaa.. aku tahu ..’, tangannya kembali menepuk-nepuk dan digosok-gosokkanya pada pahaku seakan sentuhan bapak yang melindungi anaknya.

Ooouuiihh.. aku merasakan kegelian yang sangat, aku merasakan desakan erotik, mengingat dia selalu menjadi obyek khayalan seksualku. Dan saat Pak Parno merabakan tangannya lebih ke atas menuju pangkal pahaku, reaksi spontanku adalah menurunkan kembali ke bawah. Dia ulangi lagi, dan aku kembali menurunkan. Dia ulangi lagi dan aku kembali menurunkan. Anehnya aku hanya menurunkan, bukan menepisnya. Yang aku rasakan adalah aku ingin tangan itu memang tidak diangkat dari pahaku. Hanya aku masih belum siap untuk lebih jauh. Nafasku yang langsung tersengal dan jantungku yang berdegap-degup kencang belum siap menghadapi kemungkinan yang lebih menjurus.

Pak Parno mengalah. Tetapi bukan mengalah bener-bener. Dia tidak lagi memaksakan tangannya untuk menggapai ke pangkal pahaku, tetapi dia rubah. Tangan itu kini meremasi pahaku. Gelombang nikmat erotik langsung menyergap aku. Aku mendesah tertahan. Aku lemes, tak punya daya apa-apa kecuali membiarkan tangan Pak Parno meremas pahaku. ‘Dik Maarr..’, dia berbisik sambil menengok ke aku.

Tiba-tiba di depan melintas bajaj, memotong jalan. Pak Parno sedikit kaget. Otomatis tangannya melepas pahaku, meraih presnelling dan melepas injakan gas. Kijang ini seperti terangguk. Sedikit badanku terdorong ke depan. Selepas itu tangan Pak Parno dikonsentrasikan pada kemudi. Jalanan ke arah Senen yang macet membuat sopir harus sering memindah presnelling, mengerem, menginjak gas dan mengatur kemudi. Aku senderkan tubuhku ke jok. Aku nggak banyak ngomong. Aku kepingin tangan Pak Parno itu kembali ke pahaku. Kembali meremasi. Dan seandainya tangan itu merangkak ke pangkal pahaku akan kubiarkan. Aku menjadi penuh disesaki dengan birahi. Mataku kututup untuk bisa lebih menikmati apa yang barusan terjadi dan membiarkan pikiranku mengkhayal.

Benar. Sesudah jalanan agak lancar, tangan Pak Parno kembali ke pahaku. Aku benar-benar mendiamkannya. Aku merasakan kenikmatan jantungku yang terpacu dan nafasku yang menyesak dipenuhi rangsangan birahi. Langsung tangan Pak Parno meremasi pahaku. Dan juga naik-naik ke pangkal pahaku. Tanganku menahan tangannya. Eeeii malahan ditangkapnya dan diremasinya. Dan aku pasrah. Aku merespon remasannya. Rasanya nikmat untuk menyerah pada kemauan Pak Parno. Aku hanya menutup mata dengan tetap bersender di jok sambil remasan di tangan terus berlangsung.

Sekali aku nyeletuk,
‘N’tar dilihat orang Pak’,
‘Ah, nggaakk mungkin, kacanya khan gelap. Orang nggak bisa melihat ke dalam’, aku percaya dia.
Sesudah beberapa saat rupanya desakan birahi pada Pak Parno juga menggelora,
‘Dik Mar.. kita jalan-jalan dulu mau nggak?’, dia berbisik ..
‘Kemana..?’, pertanyaanku yang aku sertai harapan hatiku ..
‘Ada deh.. Pokoknya Dik Mar mau khan..’.
‘Terserah Pak Parno.., Tapinya n’tar ditungguin orang-orang .., n’tar orang-orang curiga .. lho’.
‘Iyaa, jangan khawatirr.., paling lama sejamlah.’, sambil Pak Parno mengarahkan kemudinya ke tepi kanan mencari belokan ke arah balik. Aku nggak mau bertanya, mau ngapain ’sejam’??

Persis di bawah jembatan penyeberangan dekat daerah Galur, Pak Parno membalikkan mobilnya kembali menuju arah Cempaka Putih. Ah.. Pak Parno ini pasti sudah biasa begini. Mungkin sama ibu-ibu atau istri-istri lainnya. Aku tetap bersandar di jok sambil menutup mataku pura-pura tiduran. Dengan penuh gelora dan deg-degan jantungku, aku menghadapi kenyataan bahwa beberapa saat lagi, mungkin hanya dalam hitungan menit, akan mengalami saat-saat yang sangat menggetarkan. Saat-saat seperti yang sering aku khayalkan. Aku nggak bisa lagi berpikir jernih. Edan juga aku ini.., apa kekurangan Mas Adit, kenapa demikian mudah aku menerima ajakan Pak Parno ini. Bahkan sebelumnya khan belum pernah sekalipun selama 8 tahun pernikahan aku disentuh apalagi digauli lelaki lain.

Yang aku rasakan sekarang ini hanyalah aku merasa aman dekat Pak Parno. Pasti dia akan menjagaku, melindungiku. Pasti dia akan mengahadpi aku dengan halus dan lembut. Bagaimanapun dia adalah Pak RT kami yang selama ini selalu mengayomi warganya. Pasti dia nggak akan merusak citranya dengan perbuatan yang membuat aku sakit atau terluka. Dan rasanya aku ingin banget bisa melayani dia yang selama ini selalu jadi obyek khayalan seksualku. Biarlah dia bertindak sesuatu padaku sepuasnya. Dan juga aku ingin merasakan bagaimana dia memuaskan aku pula sesuai khayalanku.
Agu gemetar hebat. Tangan-tanganku gemetar. Lututku gemetar. Kepalaku terasa panas. Darah yang naik ke kekepalaku membuat seakan wajahku bengap. Dan semakin kesana, semakin aku nggak bisa mencabut persetujuanku atas ajakan ‘jalan-jalan dulu’ Pak Parno ini.

Tiba-tiba mobil terasa membelok ke sebuah tempat. Ketika aku membuka mata, aku lihat halaman yang asri penuh pepohonan. Di depan mobil nampak seorang petugas berlarian menuntun Pak Parno menuju ke sebuah garasi yang terbuka. Dia acungkan tangannya agar Pak Parno langsung memasuki garasi berpintu rolling door itu, yang langsung ditutupnya ketika mobil telah yakin berada di dalam garasi itu dengan benar. Sedikit gelap. Ada cahaya kecil di depan. Ternyata lampu di atas sebuah pintu yang tertutup. Woo.. aku agak panik sesaat. Tak ada jalan untuk mundur. Kemudian kudengar Pak Parno mematikan mesin mobilnya.

‘Nyampai Dik Mar ..’,
‘Di mana ini Pak ..?’, terus terang aku nggak tahu di mana tempat yang Pak Parno mengajak aku ini. Tetapi aku yakin inilah jenis ‘motel’ yang sering aku dengar dari temen-temen dalam obrolan-obrolan porno dalam arisan yang diselenggarakan ibu-ibu kompleks itu.
Pak Parno tidak menjawab pertanyaanku, tetapi tangannya langsung menyeberang melewati pinggulku untuk meraih setelan jok tempat dudukku. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya. Dan yang kurasakan berikutnya adalah bibir Pak Parno yang langsung mencium mulutku dan melumat. Uh uh uh .. Aku tergagap sesaat.. sebelum aku membalas lumatannya. Kami saling melepas birahi. Aku merasakan lidahnya menyeruak ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah mengisapnya. Lidah itu menari-nari di mulutku. Bau lelaki Pak Parno menyergap hidungku. Beginilah rasanya bau lelaki macam Pak Parno ini. Bau alami tanpa parfum sebagaimana yang sering dipakai Mas Adit. Bau Pak RT yang telah 55 tahun tetapi tetap memancarkan kelelakian yang selama ini selalu menyertai khayalanku saat masturbasi maupun saat aku disebadani Mas Adit. Bau yang bisa langsung menggebrak libidoku, sehingga nafsu birahiku lepas dengan liarnya saat ini..

Sambil melumat, tangan-tangan Pak Parno juga merambah tubuhku. Jari-jarinya melepasi kancing-kancing blusku. Kemudian kurasakan remasan jari kasar pada buah dadaku. Uuiihh .. tak tertahankan. Aku menggelinjang. Menggeliat-geliat hingga pantatku naik-naik dari jok yang aku dudukin disebabkan gelinjang nikmat yang dahsyat. Sekali lagi aku merasa edaann .. aku digeluti Pak RT ku.

Bibir Pak Parno melumatku, dan aku menyambutnya dengan penuh kerelaan yang total. Akulah yang sesungguhnya menantikan kesempatan macam ini dalam banyak khayalan-khayalan erotikku. Ohh .. Pak Parnoo .. Tolongin akuu Pakee .. Puaskanlah menikmati tubuhkuu ..Paak, .. semua ini untuk kamu Paak .. Aku hauss .. Paak .. Tulungi akuu Paakk.

‘Kita turun yok Dik Mar .., kita masuk dulu ..’, Pak Parno menghentikan lumatannya dan mengajak aku memasuki motel ini.
Begitu masuk kudengar telpon berdering. Rupanya dari kantor motel itu. Pak Parno menanyakan aku mau minum apa, atau makanan apa yang aku inginkan yang bisa diantar oleh petugas motel ke kamar. Aku terserah Pak Parno saja. Aku sendiri buru-buru ke kamar kecil yang tersedia. Aku kebelet pengin kencing.

Saat kembali ke peraduan kulihat Pak Parno sudah telentang di ranjang. Agak malu-malu aku masuk ke kamar tidur ini, apalagi setelah melihat sosok tubuh Pak Parno itu. Dia menatapku dari ekor matanya, kemudian memanggil, ‘Sini Dik Mar .. ‘, uh uh .. Omongan seperti itu .. masuk ketelingaku pada saat macam begini ..aku merasakan betapa sangat terangsang seluruh syaraf-syaraf libidoku. Aku, istri yang sama sekali belum pernah disentuh lelaki lain kecuali suamiku, hari ini dengan edannya berada di kamar motel dengan seseorang, yaitu Pak Parno, yang Pak RT kompleks rumahku, yang bahkan jauh lebih tua dari suamiku, bahkan hampir 2 kali usiaku sendiri. Dan panggilanya yang ..’Sini Dik Mar’, itu .. terasa sangat erotis di telingaku.

Aku inilah yang disebut istri nyeleweng. Aku inilah istri yang selingkuh..uh uh uh .. Kenapa begitu dahsyat birahi yang melandaku kini. Birahi yang didongkrak oleh pengertiannya akan makna selingkuh dan aku tetap melangkah ke dalamnya. Birahi yang dibakar oleh pengertian nyeleweng dan aku terus saja melanggarnya. Uhh .. aku nggak mampu menjawab semuanya kecuali rasa pasrah yang menjalar .. Dan saat aku rubuh ke ranjang itu, yang kemudian dengan serta merta Pak Parno menjemputku dengan dekapan dan rengkuhan di dadanya, aku sudah benar-benar tenggelam dalam pesona dahsyatnya istri yang nyeleweng dan selingkuh, yang menunggu saat-saat lanjutannya yang akan dipenuhi kenikmatan dan gelinjang yang pasti sangat hebat bagi istri penyeleweng pemula macam aku ini.

‘Dik Mar .. Aku sudah lama merindukan Dik Mar ini. Setiap kali aku lihat itu gambar bintang film Sarah Ashari yang sangat mirip Dik Mar .. Hatiku selalu terbakar .. Kapann aku bisa merangkul Dik Mar macam ini ..’.
Bukan main ucapan Pak Parno. Telingaku merasakan seperti tersiram air sejuk pegunungan. Berbunga-bunga mendengar pujian macam itu. Dan semakin membuat aku rela dan pasrah untuk digeluti Pak Parno yang gagah ini. Pak Parnoo ..Kekasihkuu.. Dia balik dan tindih tubuhku.

Dia langsung melahap mulutku yang gelagapan kesulitan bernafas. Dia masukkan tangannya ke blusku. Dirangkulinya tubuhku, ditekankannya bibirnya lebih menekan lagi. Disedotnya lidahku. Disedotnya sekaligus juga ludahku. Sepertinya aku dijadikan minumannya. Dan sungguh aku menikmati kegilaannya ini. Kemudian tangannya dia alihkan, meremasi kedua susuku yang kemudian dilepaskannya pula. Ganti bibirnyalah yang menjemput susuku dan puting-putingnya. Dia jilat dan sedotin habis-habisan. Dan yang datang padaku adalah gelinjang dari saraf-sarafku yang meronta. Aku nggak mampu menahan gelinjang ini kecuali dengan rintihan yang keluar dari mulutku ..Pakee ..Pakee .. Pakee ..ampun nikmattnya Pakee..

Tangannya yang lepas dari susuku turun untuk meraih celana jeansku. Dilepasi kancing celanaku dan dibuka resluitingnya. Tangannya yang besar dan kasar itu mendorongnya hingga celanaku merosot ke paha. Kemudian tangan itu merogoh celana dalamku. Aaaiiuuhh.. tak terperikan kenikmatan yang mendatangi aku. Aku tak mampu menahan getaran jiwa dan ragaku. Saat-saat jari-jari kasar itu merabai bibir kemaluanku dan kemudian meremasi kelentitku ..aku langsung melayang ke ruang angkasa tak bertepi. Kenikmatan .. sejuta kenikmatan .. ah .. Selaksa juta kenikmatan Pak Parno berikan padaku lewat jari-jari kasarnya itu.

Jari-jari itu juga berusaha menusuk lubang vaginaku. Aku rasakan ujungnya-unjungnya bermain di bibir lubang itu. Cairan birahiku yang sudah menjalar sejak tadi dia toreh-toreh sebagai pelumas untuk memudahkan masuknya jari-jarinya menembusi lubang itu. Dengan bibir yang terus melumati susuku dan tangannya merangsek kemaluanku dengan jari-jarinya yang terus dimainkan di bibir lubang vaginaku ..Ohh.. kenapa aku ini ..Ooohh.. Mas Adit .. maafkanlah akuu .. Ampunilahh .. istrimu yang nggak mampu mengelak dari kenikmatan tak bertara ini .. ampunilah Mas Adit .. aku telah menyelewengg .. aku nggak mampuu maass ..

Pak Parno terus menggumuli tubuhku. Blusku yang sudah berantakan memudahkan dia merangsek ke ketiakku. Dia jilati dan sedoti ketiakku. Dia nampak sekali menikmati rintihan yang terus keluar dari bibirku. Dia nampaknya ingin memberikan sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan dari suamiku. Sementara jari-jarinya terus menusuki lubang vaginaku. Dinding-dindingnya yang penuh saraf-saraf peka birahi dia kutik-kutik, hingga aku serasa kelenger kenikmatan. Dan tak terbendung lagi, cairan birahiku mengalir dengan derasnya.

Yang semula satu jari, kini disusulkan lagi jari lainnya. Kenikmatan yang aku terimapun bertambah. Pak Parno tahu persis titik-titik kelemahan wanita. Jari-jarinya mengarah pada G-Spotku. Dan tak ayal lagi. Hanya dengan jilatan di ketiak dan kobokan jari-jari di lubang vagina aku tergiring sampai titik dimana aku nggak mampu lagi membendungnya. Untuk pertama kali disentuh lelaki yang bukan suamiku, Pak Parno berhasil membuatku orgasme.

Saat orgasme itu datang, kurangsek balik Pak Parno. Kepalanya kuraih dan kuremasi rambutnya. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kuhunjamkan kukuku ke punggungnya. Aku nggak lagi memperhitungkan bagaimana luka dan rasa sakit yang ditanggung Pak Parno. Pahaku menjepit tangannya, sementara pantatku mengangkat-angkat menjemputi tangan-tangan itu agar jarinya lebih meruyak ke lubang vaginaku yang sedang menanggung kegatalan birahi yang amat sangat. Tingkahku itu semua terus menerus diiringi racau mulutku.

Dan saat orgasme itu memuncratkan cairan birahiku aku berteriak histeris. Tangan-tanganku menjambret apa saja yang bisa kuraih. Bantalan ranjang itu teraduk. Selimut tempat tidur itu terangkat lepas dan terlempar ke lantai. Kakiku mengejang menahan kedutan vaginaku yang memuntahkan spermaku. “Sperma” perempuan yang berupa cairan-cairan bening yang keluar dari kemaluannya. Keringatku yang mengucur deras mengalir ke mataku, ke pipiku, kebibirku. Kusibakkan rambutku untuk mengurangi gerahnya tubuhku dalam kamar ber AC ini.

Saat telah reda, kurasakan tangan Pak Parno mengusap-usap rambutku yang basah sambil meniup-niup dengan penuh kasih sayang. Uh .. Dia yang ngayomi aku. Dia eluskan tangannya, dia sisir rambutku dengan jari-jarinya. Hawa dingin merasuki kepalaku. Dan akhirnya tubuhku juga mulai merasai kembali sejuknya AC kamar motel itu.

‘Dik Mar, Dik Mar hebat banget yaa hh.. Istirahat dulu yaa..?!, Saya ambilkan minum dulu yaahh ..’, suara Pak Parno itu terasa menimbulkan rasa yang teduh. Aku nggak kuasa menjawabnya. Nafasku masih ngos-ngosan. Aku nggak pernah menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan sehebat ini. Kamar motel ini telah menyaksikan bagaimana aku mendapatkan kenikmatan yang pertama kalinya saat aku menyeleweng dari kesetiaanku pada Mas Adit suamiku untuk disentuhi dan digumuli oleh Pak Parno, Pak RT kampungku, yang bahkan juga sering jadi lawan main catur suamiku di saat-saat senggang. Mas Adit .. Ooohh .. maass ..maafkanlah aakuu .. maass..

Sementara aku masih terlena di ranjang dan menarik nafas panjang sesudah orgasmeku tadi, Pak Parno terus menciumi dan ngusel-uselkan hidungnya ke pinggulku, perutku. Bahkan lidah dan bibirnya menjilati dan menyedoti keringatku. Tangannya tak henti-hentinya merabai selangkanganku. Aku terdiam. Aku perlu mengembalikan staminaku. Mataku memandangi langit-langit kamar motel itu. Menembusi atapnya hingga ke awang-awang. Kulihat Mas Adit sedang sibuk di depan meja gambarnya, sebentar-sebentar stip Staedler-nya menghapus garis-garis potlod yang mungkin disebabkan salah tarik.

Mungkin semua ini hanyalah soal perlakuan. Hanyalah perlakuan Mas Adit yang sepanjang perkawinan kami tidak sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan biologisku. Lihat saja Pak Parno barusan, hanya dengan lumatan bibirnya pada ketiakku dan kobokkan jari-jarinya yang menari-nari di kemaluanku, telah mampu memberikan padaku kesempatan meraih orgasmeku. Sementara kamu Mas, setiap kali kamu menggumuliku segalanya berjalan terlampau cepat, seakan kamu diburu-buru oleh pekerjaanmu semata. Kamu peroleh kepuasanmu demikian cepat.

Sementara saat nafsuku tiba dengan menggelegak, Mas Adit sudah turun dari ranjang dengan alasan ada yang harus diselesaikan, si anu sudang menunggu, atau si anu besok mau pergi dan sebagainya. Kamu ternyata sekali sangat egois. Kamu biarkan aku tergeletak menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Menunggu Mas Adit yang hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Yang aku nggak tahu kapan itu datangnya .. Sepertinya aku menunggu Godotku .., menunggu sesuatu yang aku tahu nggak akan pernah datang padaku ..

‘Dik Marni capek ya ..’, bisikkan Pak Parno membangunkan aku dari lamunan.
‘Nggak Pak. Lagi narik napas saja .. Tadi koq nikmat banget yaa .., sedangkan Pak Parno belum ngapa-apain padaku .. Pakee .. Pak Parno juga hebat lhoo .. Baru di utik-utik saja aku sudah kelabakkan .. Hi hi hi ..’, aku berusaha membesarkan hati Pak Parno yang telah memberikan kepuasan tak terhingga ini.

Rupanya Pak Parno hanya ingin nge-cek bahwa aku nggak tertidur. Dengan jawabanku tadi dengan penuh semangat dia turun dari ranjang. Dia lepasin sendiri kemejanya, celana panjangnya dan kemudian celana dalamnya. Baru pertama kali ini aku melihat lelaki lain telanjang bulat di depanku selain Mas Adit suamiku. Wuuiihh .. aku sangat tergetar menyaksikan tubuh Pak Parno.

Pada usianya yang lebih dari 55 tahun itu, sungguh Pak Parno memiliki tubuh yang sangat seksi bagi para wanita yang memandangnya. Perutnya nggak nampak membesar, dengan otot-otot perut yang kencang. Bukit dadanya yang sangat menantang menunggu gigitan dan jilatan perempuan-perempuan binal. Dan yang paling membuatku serasa pingsan adalah .. kontolnya .. Aku belum pernah melihat kontol lelaki lain .. kontol Pak Parno sungguh-sungguh merupakan kontol yang sangat mempesona dalam pandanganku saat ini. kontol itu besar, panjang, keras hingga nampak kepalanya berkilatan dan sangat indah. Kepalanya yang tumpul seperti helm tentara Nazi, sungguh merupakan paduan erotis dan powerful. Sangat menantang. Dengan sobekan lubang kencing yang gede, kontol itu seakan menunggu mulut atau kemaluan para perempuan yang ingin melahapnya.

Sesudah telanjang Pak Parno juga menarik pakaianku, celana jeansku yang sedari tadi masih di separoh kakiku, kemudian blus serta kutangku dilepasnya. Kini aku dan Pak Parno sama-sama telanjang bulat. Pak Parno rebah di antara pahaku. Dia langsung nyungsep di selangkanganku. Lidahnya menjilati kemaluanku. Waduuiihh .. Ampunn .. Kenapa cara begini ini nggak pernah aku dapatkan dari Mas Aditt ..

Lidah kasar Pak Parno menusuk dan menjilati vaginaku. Bibir-bibir kemaluanku disedotinya. Ujung lidahnya berusaha menembusi lubang vaginaku. Pelan-pelan nafsuku terpancing kembali. Lidah yang menusuk lubang vaginaku itu membuat aku merasakan kegatalan yang hebat. Tanpa kusadari tanganku menyambar kepala Pak Parno dan jariku meremasi kembali rambutnya sambil mengerang dan mendesah-desah untuk kenikmatan yang terus mengalir. Tanganku juga menekan-nekan kepala itu agar tenggelam lebih dalam ke selangkanganku yang makin dilanda kegatalan birahi yang sangat. Pantatku juga ikut naik-naik menjemput lidah di lubang vaginaku itu.

Tak lama kemudian, Pak Parno memindahkan dan mengangkat kakiku untuk ditumpangkan pada bahunya. Posisi seperti itu merupakan posisi yang paling mudah bagi Pak Parno maupun bagi aku. Dengan sedikit tenaga aku bisa mendesak-desakkan kemaluanku ke mulut Pak Parno, dan sebaliknya Pak Parno tidak kelelahan untuk terus menciumi kemaluanku. Terdengar suara kecipak mulut Pak yang beradu dengan bibir kemaluanku. Dan desahan Pak Parno dalam merasakan nikmatnya kemaluanku tak bisa disembunyikan.

Posisi ini membuat kegatalan birahiku semakin tak terhingga hingga membuat aku menggeliat-geliat tak tertahankan. Pak Parno sibuk memegang erat-erat kedua pahaku yang dia panggul. Aku tidak mampu berontak dari pegangannya. Dan sampai pada akhirnya dimana Pak Parno sendiri juga tidak tahan. Rintihan serta desahan nikmat yang keluar dari mulutku merangsang nafsu birahi Pak Parno tidak bisa terbendung.

Sesudah menurunkan kakiku, Pak Parno langsung merangkaki tubuhku. Digenggamnya kontolnya, diarahkan secara tepat ke lubang kemaluanku. Aku sungguh sangat menunggu detik-detik ini. Detik-detik dimana bagiku untuk pertama kalinya aku mengijinkan kontol orang lain selain suamiku merambah dan menembus memekku. Seluruh tubuhku kembali bergetar, seakan terlempar ke-awang-awang. Sendi-sendiku bergetar .. menunggu kontol Pak Parno menembus kemaluanku .. Aku hanya bisa pasrah .. Aku nggak mampu lagi menghindar dari penyelewengan penuh nikmat ini .. Maafin aku Mas Adit ..

Aku menjerit kecil saat kepala tumpul yang bulat gede itu menyentuh dan langsung mendorong bibir vaginaku. Rasa kejut saraf-saraf di bibir vaginaku langsung bereaksi. Saraf-saraf itu menegang dan membuat lubang vaginaku menjadi menyempit. Dan akibatnya seakan tidak mengijinkan kontol Pak Parno itu menembusnya. Dan itu membuat aku penasaran,

‘Santai saja Mar, biar lemesan..’, terdengar samar-samar suara Pak Parno di tengah deru hawa nafsuku yang menyala-nyala.
‘Pakee .. Pakee .. ayyoo .. Pakee tulungi saya Pakee .. Puas-puasin ya Pakee.. Saya serahin seluruh tubuh saya untuk Pakee ..’, kedengerannya aku mengemis minta dikasihani.
‘Iyaa Dik Marr .. Sebentar yaa Dik Marr ..’, suara Pak Parno yang juga diburu oleh nafsu birahinya sendiri.

Kepala helm tentara itu akhirnya berhasil menguak gerbangnya. Bibir vaginaku menyerah dan merekah. Menyilahkan kontol Pak Parno menembusnya. Bahkan kini vaginakulah yang aktif menyedotnya, agar seluruh batang kontol gede itu bisa dilahapnya.

Uuhh .. aku merasakan nikmat desakan batang yang hangat panas memasuki lubang kemaluanku. Sesak. Penuh. Tak ada ruang dan celah yang tersisa. Daging panas itu terus mendesak masuk. Rahimku terasa disodok-sodoknya. kontol itu akhirnya mentok di mulut rahimku. Terus terang belum pernah se-umur-umurku rahimku ngrasain disentuh kontol Mas Adit. Dengan sisa ruang yang longgar, kontol suamiku itu paling-paling menembus ke vaginaku sampai tengahnya saja. Saat dia tarik maupun dia dorong aku tidak merasakan sesak atau penuh seperti sesak dan penuhnya kontol Pak Parno mengisi rongga vaginaku saat ini.

Kemudian Pak Parno mulai melakukan pemompaan. Ditariknya pelan kemudian didorongnya. Ditariknya pelan kembali dan kembali didorongnya. Begitu dia ulang-ulangi dengan frekewnsi yang makin sering dan makin cepat. Dan aku mengimbangi secara reflek. Pantatku langsung pintar. Saat Pak Parno menarik kontolnya, pantatku juga menarik kecil sambil sedikit ngebor. Dan saat Pak Parno menusukkan kontolnya, pantatku cepat menjemputnya disertai goyangan igelnya.

Demikian secara beruntun, semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat, cepat, cepaatt ..ceppaatt. Payudaraku bergoncang-goncang, rambutku terburai, keringatku, keringat Pak Parno mengalir dan berjatuhan di tubuh masing-masing, mataku dan mata Pak Parno sama-sama melihat keatas dengan menyisakan sedikit putih matanya. Goncangan makin cepat itu juga membuat ranjang kokoh itu ikut berderak-derak. Lampu-lampu nampak bergoyang, semakin kabur, kabur, kabur. Sementara rasa nikmat semakin dominan. Seluruh gerak, suara, nafas, bunyi, desah dan rintih hanyalah nikmat saja isinya.

‘Mirnaa .. Ayyoo.. Enakk nggak kontol padee Mirr, enak yaa.. enak Mirr .. ayyoo bilangg enak mana sama kontol si Adit .. Ayoo Mirr enak mana sama kontol suamimu ayoo bilangg ayyoo enakan manaa ..’, Pak Parno meracau.
‘Pakee .. enhaakk.. pakee.. Enhakk kontol pakee .. Panjangg .. Uhh gedhee bangett .. pakee.. Enakan kontol Pak Parnoo ..’.

Pada akhirnya aku mendapat orgasmeku 2 kali secara berturut-turut. Itu yang ibu-ibu sering sebut sebagai multi orgasme. Bukan mainn .. hanya dari Pak Parno aku bisa meraih multi orgasmeku inii .. Oohh Pak Parnoo.. terima kasihh .. Pak Parno mau memuaskan akuu.. Sekarangg ayoo .. Pakee biar aku yang memuaskan kamuu ..
Dan kontol Pak Parno aku rasakan berdenyut keras dan kuat sekali.. Kemudian menyusul denyut-denyut berikutnya. Pada setiap denyutan aku rasakan vaginaku sepertinya disemprot air kawah yang panas. Sperma Pak Parno berkali-kali muntah di dalam vaginaku.

Uhh .. Aku jadi lemess bangett .. Nggak pernah sebelumnya aku capek bersanggama. Kali ini seluruh urat-urat tubuhku serasa di lolosi. Dengan telanjang bulat kami sama telentang di ranjang motel ini. Di sinilah akhirnya terjadi untuk pertama kalinya aku serahkan nonokku beserta seluruh tubuhku kepada lelaki bukan suamiku, Pak Parno. Dan aku heran .. pada akhirnya.. tak ada rasa sesal sama sekali dari hatiku pada Mas Adit. Aku sangat ikhlaskan apa yang telah aku serahkan pada Pak Parno tadi. Dan dalam kenyataan aku mendapatkan imbalan kepuasan dari Pak Parno yang sangat hebat.

Di motel ini aku mengalami 3 kali orgasme. Dua kali beruntun aku mengalami orgasme dalam satu kali persetubuhan dan yang pertama sebelumnya, yang hanya dengan gumulan, ciuman dan jilatan Pak Parno di ketiakku sembari tangannya ngobok-obok kemaluanku aku bisa mendapatkan orgasme yang sangat memberikan kepuasan pada libidoku. Hal itu mungkin disebabkan karena adanya sensasi-sensasi yang timbul dari sikap penyelewengan yang baru sekali ini aku lakukan. Yaa.. pada akirnya aku toh berhak mendapatkannya .. tanpa menunggu Mas Adit yang sangat egois.

Sesungguhnya aku ingin tinggal lebih lama lagi di tempat birahi ini, namun Pak Parno mengingatkan bahwa waktu bernikmat-nikmat yang pertama kali kami lakukan ini sudah cukup lama. Pak Parno khawatir orang-orang rumah menunggu dan bertanya-tanya. Pak Parno mengajak selekasnya kami meninggalkan tempat ini dan kembali menyelesaikan pekerjaan yang telah kami sanggupi pada Mbak Surti dalam rangka membantu hajatannya.

Setelah kami mandi dan membersihkan tanda-tanda yang kemungkinan mencurigakan, kami kembali ke jalanan. Ternyata kemacetan jalan menuju ke Senen ini sangat parah di siang hari ini. Dengan adanya pembangunan jembatan layang pada belokan jalan di Galur, antrean mobil macet sudah terasa mulai dari pasar Cempaka Putih. Mobil Pak Parno serasa merangkak. Untung AC mobilnya cukup dingin sehingga panasnya Jakarta tidak perlu kami rasakan.

Sepanjang kemacetan ini pikiranku selalu kembali pada peristiwa yang barusan aku alami bersama Pak Parno tadi. Lelaki tua ini memang hebat. Dia sangat kalem dan tangguh. Dia sangat sabar dan berpengalaman menguasai perempuan.

 

Aku seorang pria berusia 40 tahun, wiraswastawan, dan bukan seorang petualang sex yang mencari cari hubungan sex dimana mana. Kejadian yang aku alami kira kira dua tahun yang lalu ini adalah suatu kebetulan belaka, meskipun harus kuakui bahwa aku sangat menikmatinya dan kadang berharap dapat mengulanginya lagi.

 

Pekerjaanku membuatku banyak bertemu dengan ibu-ibu rumah tangga ditempat kediaman mereka. Beberapa langganan lama kadang menemuiku dengan masih berpakaian tidur ataupun daster. Pakaian tersebut kadang cukup minim dan tipis dan sering memperlihatkan tubuh si pemakai yang sering tanpa BH, maklum mereka kadang kadang belum mandi dan merias diri karena aku menemui mereka pagi pagi untuk mengejar waktu.

 

Salah satu pelangganku setiaku, sebut saja Bu Linda, seorang Ibu rumah tangga berusia 40 tahunan, memintaku untuk datang ke tempatnya di suatu kompleks apartemen di bilangan Jakarta Barat. Seperti biasa aku datang pagi pagi pada hari yang dijanjikan. Bu Linda adalah pelanggan lamaku dan hubungan kami sudah cukup akrab, lebih sebagai teman dan bukan hubungan bisnis semata. Hari itu Bu Linda menemuiku dengan memakai daster longgar berdada agak rendah, panjangnya setengah paha, jadi cukup pendek.

 

Beliau adalah seorang wanita yang cukup cantik, berkulit putih bersih (Chinese), langsing dengan pinggul lebar, pantat yang menonjol dan dada yang sedang sedang saja. Wanita yang menarik dan sangat ramah. Tapi ini bukanlah yang pertama kalinya ia menemuiku dalam pakaian seperti itu, bahkan pernah dengan pakaian tidur yang sangat tipis dan sexy, entah sengaja atau tidak, yang jelas, selama ini beliau tidak pernah menunjukkan tingkah laku yang mengundang ataupun berbicara hal hal yang menjurus. Dan akupun tidak pernah mencoba untuk melakukan tindakan yang mengarah kesitu, maklum, bukan gayaku, meskipun harus kuakui bahwa aku sering ingin juga melakukannya.

 

Seperti biasa kami duduk disofa berhadap hadapan dan membicarakan bisnis. Setelah urusan bisnis selesai kami bercakap cakap seperti layaknya antar teman, tapi kali ini pandanganku sering tertuju kearah pahanya. Karena dia duduk dengan menyilangkan kaki maka hampir seluruh pahanya terpampang dengan jelas di hadapanku, begitu putih dan mulus. Bahkan kadang kadang sekilas terlihat celana dalamnya yang berwarna biru muda pada saat ia mengganti posisi kakinya. Dan yang lebih menggoda lagi, aku dapat melihat buah dadanya yang tidak terbungkus BH kalau beliau menunduk, meskipun tidak seluruhnya namun kadang aku dapat melihat pentilnya yang berwarna coklat tua.

 

Sejak 4 hari aku tidak melakukan hubungan sex karena istriku sedang haid, padahal biasanya kami melakukannya hampir setiap hari. Karena itu aku berada dalam keadaan tegangan yang cukup tinggi. Pemandangan menggoda dihadapanku membuat aku agak gelisah. Gelisah karena kepingin, pasti, tapi gelisah terutama karena kontolku yang mulai ngaceng agak terjepit dan sakit. Disamping itu aku tidak ingin Bu Linda memperhatikan keadaanku. Hal ini membuat aku jadi salah tingkah, terutama karena kontolku sekarang sudah ngaceng penuh dan sakit karena terjepit. Aku ingin memohon diri, tapi bagaimana bangun dengan kontol yang ngaceng, pasti kelihatan. Sungguh situasi yang tidak mengenakkan. Bangun salah, dudukpun salah.

 

Tiba tiba Bu Linda berkata, “Pak Yan (kependekan dari Yanto, namaku), kontolnya ngaceng ya?”

 

Aku seperti disambar petir. Bu Linda yang selama ini sangat ramah dan sopan menanyakan apakah kontolku ngaceng, membuatku benar benar tergagap dan menjawab, “E.. iya nih Bu, tahu kenapa.”

 

Bu Linda tersenyum sambil berkata, “Baru lihat paha saya sudah ngaceng, apa lagi kalau saya kasih lihat memek saya, bisa muncrat tuh kontol. Ngomong ngomong kontolnya engga kejepit tuh Pak?”

 

Kali ini aku sudah siap, atau sudah nekat, entahlah, yang jelas aku segera berdiri dan membetulkan posisi kontolku yang dari tadi agak tertekuk dan berkata, “Mau dong Bu lihat memeknya, entar saya kasih lihat kontol saya dah.”

 

Bu Linda pun berdiri dan mengulurkan tangannya kearah kontolku, memegangnya dari luar celana dan meremas remas kontolku, lalu berkata, “Bener nih, tapi lihat aja ya, engga boleh pegang.”

 

Kemudian beliau melangkah mundur selangkah, membuka dasternya dan kemudian celana dalamnya dan berdiri dalam keadaan telanjang bulat dua langkah dihadapanku. Kemudian ia duduk kembali kali ini dengan mengangkangkan kakinya lebar lebar sambil berkata, “Ayo buka celananya Pak, saya ingin lihat kontol Bapak.”

 

Sambil membuka pakaianku aku memperhatikan tubuh Bu Linda. Teteknya berukuran sedang, 36 B, putih dan membulat kencang, pentilnya coklat tua dan agak panjang, mungkin sering dihisap, maklum anaknya dua, lalu selangkangannya, bersih tanpa selembar bulupun, total dicukur botak, sungguh kesukaanku karena aku kurang suka memek yang berbulu banyak, lebih suka yang botak. Lalu bibir memeknya juga cukup panjang berwarna coklat muda, membuka perlahan lahan memperlihatkan lubang memek yang tampak merah muda dan berkilatan, agaknya sudah sedikit basah.

 

Yang paling mengagumkan adalah itilnya yang begitu besar, hampir sebesar Ibu jariku, kepala itilnya tampak merah muda menyembul separuh dari kulit yang menutupinya, seperti kontol kecil yang tidak disunat, luar biasa, belum pernah aku melihat itil sebesar itu. Tangan Bu Linda mengusap usap bagian luar memeknya perlahan lahan, kemudian telunjuknya masuk perlahan lahan kedalam lubang memek yang sudah merekah indah dan perlahan lahan keluar masuk seperti kontol yang keluar masuk memek. Sementara tangan yang satu lagi memegang itilnya diantara telunjuk dan ibu jari dan memilin milin itilnya dengan cepat.

 

Akupun tidak mau kalah dan mengusap usap kepala kontolku yang 14 cm, kemudian menggenggam batangnya dan mulai mengocok sambil terus memperhatikan Bu Linda. Bu Linda mulai mendesah desah dan memeknyapun mulai menimbulkan suara berdecak decak karena basah, tampak air memek yang berwarna putih susu mengalir sedikit membasahi selangkangannya. Kami onani sambil saling memperhatikan. Sungguh tidak pernah kusangka bahwa onani bareng bareng seorang wanita rasanya begitu nikmat.

 

Saat hampir nyemprot, aku menahan kocokanku dan menghampiri Bu Linda yang terus menusuk nusuk memeknya dengan cepat. Aku berjongkok dihadapannya dan lidahkupun mulai menjilati memeknya. Bu Linda mencabut jarinya dan membiarkan aku menjilati memeknya, tangannya meremas remas kedua teteknya dengan keras. Aku menjulurkan lidahku kedalam lubang memek yang menganga lebar dan menusuk nusukkan lidahku seperti ngentot, Bu Linda mulai mengerang dan tak lama beliau menarik kepalaku kearah selangkangannya membuat ku sulit bernapas karena hidungku tertutup memek, kemudian terasalah memeknya berkedut kedut dan bertambah basah.

 

Rupanya Bu Linda sudah memperoleh orgasme pertamanya. Tapi aku tidak puas dengan hanya menjilati lubang memeknya, sasaranku berikutnya adalah si itil besar. Mula mula kujilat jilat kepala itil yang menyembul dari kulit itu, lalu kumasukkan seluruh itilnya kemulutku dan mulailah aku menyedot nyedot sang itil. Belum pernah aku begitu merasakan itil di dalam mulut dengan begitu jelas, dalam hatiku berpikir, “Begini rupanya ngisep ‘kontol kecil'”.

 

Maklum itilnya benar benar seperti kontol kecil. Bu Linda mengerang erang dan menggoyang goyangkan pinggulnya kekiri kekana sehingga aku terpaksa menahan pinggulnya dengan tanganku supaya sang itil tidak lepas dari hisapanku. Tidak lama beliau mengeluarkan lenguhan yang keras dan memeknya pun kembali berdenyut denyut dengan keras, kali ini dengan disertai cairan putih susu yang agak banyak. Rupanya orgasme kedua telah tiba. Aku melepaskan itilnya dari mulutku dan mulai menjilati cairan memeknya sampai bersih. Sungguh nikmat rasanya.

 

Bu Linda tergolek dengan lemasnya seperti balon yang kurang angin. Akupun berdiri dan mulai mengocok ngocok lagi kontolku yang sudah begitu keras dan tegang. Mata Bu Linda mengikuti setiap gerakan tanganku mempermainkan kontolku. Saat aku hampir mencapai orgasme, kudekatkan kontolku ke mukanya dan Bu Linda segera membuka mulutnya dan menghisap kontolku dengan lembutnya. Aku sungguh tidak sanggup lagi bertahan karena hisapannya yang begitu nikmat, maka akupun menyemprotkan air maniku di mulutnya. Rasanya belum pernah aku menyemprot senikmat itu dan kontolku seolah olah tidak mau berhenti menyemprot. Begitu banyak semprotanku, tapi tidak tampak setetespun air mani yang keluar dari mulut Bu Linda, semuanya ditelan habis.

 

Sejak itu kami selalu onani bareng kalau bertemu, dan percaya atau tidak, aku belum pernah memasukkan kontolku kedalam memeknya. Kami sudah sangat puas dengan ngocok bersama sama. Sayangnya beliau sekeluarga pindah keluar negri sehingga aku sekarang kehilangan temen ngocok bareng. Tapi kenangan itu tetap ada di hatiku.

 

Mungkin ada diantara ibu-ibu atau pasangan yang suka ngocok bareng denganku, silahkan kirim e-mail, pasti akan kubalas. Percayalah, lebih nikmat ngocok bareng dari pada sendiri sendiri.

 

E N D

 

Saya tinggal di sebuah kota kecil dekat Jakarta. Waktu itu tahun  1984 dan saya baru kuliah tingkat I. Hari itu saya kesel berat sama  dosen, yang  selain  killer juga asli egois. Saya yang  sehari-hari  terkenal sebagai  mahasiswa  yang  disenangi  oleh  para  dosen-meskipun  bukan terbaik-,  dibikin malu hampir seluruh kampus. Dia bilang  bahwa  saya adalah  orang  yang tidak bisa dipercaya, karena  diberi  tugas  tidak melapor. Padahal saya sudah menunggu di depan kantornya lebih dari 2 jam  untuk memberikan laporan, dia malah tidur di ruang dosen! Saya kecewa berat, lalu  pulang  ke  asrama.

Sepanjang siang saya  tidak  bisa  istirahat memikirkan si killer. Sorenya saya pergi ke kota B untuk cari hiburan. Saya  tidak  tahu  hiburan apa, yang penting  saya  berada  jauh  dari asrama. Untuk sampai ke kota B orang harus naik ojek, karena  angkutan umum sangat jarang. Jadi saya bisa pastikan teman-teman tidak akan ada yang mergoki kalau saya lagi senewen begini. Saya  lalu nonton film. Sesuatu yang jarang saya lakukan.  Saya  tidak ingat  judulnya  apa, tapi yang saya ingat film itu agak  hot,  banyak adegan  ranjangnya.

Sambil nonton saya juga beranikan diri minum  bir. Ini  pertama  kali  dalam  hidup  saya,  karena  saya  tinggal   dalam lingkungan  yang ketat. Mungkin karena saya serius nonton  film,  atau mungkin  juga  pengaruh  bir, perlahan-lahan beban  akibat  si  killer hilang juga. Yang tinggal adalah perasaan birahi karena pengaruh film. Abis nonton, saya terpaku di depan bioskop. Jam  di tangan saya menunjukkan pukul 21.00. Masih sore,  saya  fikir. Lagipula  saya malas pulang ke kampus, masih kesal dengan  suasananya. Tapi  mau  kemana?  Akhirnya saya mengayunkan  langkah  juga  ke  arah stasiun  kereta api, dekat jalan tempat para ojek menunggu.

Sampai  di sana  suasananya  sepi.  Saya  duduk di  bangku  panjang  tempat  para penumpang  menunggu  kereta api. Saya menyalakan  rokok.  Menghisapnya dalam-dalam. “Sendirian  aja mas?” tiba-tiba ada suara menyapa. Saya terkejut  dari lamunan  dan menoleh ke kiri. Seorang gadis cantik, sekitar  10  tahun lebih tua dari saya, berpakaian seronok berdiri memandang saya  dengan senyum  menggoda. Di tangan kirinya memegang sebatang rokok. Wah,  ini pasti  WTS fikirku. Saya memang sering dengar bahwa di  dekat  stasiun ini banyak WTS berkeliaran. Tempat operasi mereka biasanya di  gerbong kereta barang yang lagi langsir. “Oh..  eh..  ya..” jawab saya gugup sambil menengok  ke  arah  gerbong kereta  yang  di  parkir di samping stasiun.  Agak  gelap  dan  banyak bayangan  berkelebat  di  sana.  Sesekali  terdengar  suara  perempuan cekikikan. “Boleh saya temani..?” tanyanya. “Silakan…  silakan..” kata saya sambil menggeser tempat duduk.

Saya jadi  deg-degan.  Meskipun saya terhitung tidak canggung  sama  teman- teman  cewek, tapi untuk seseorang yang lebih agresif kayak gini  saya jadi panas dingin rasanya. “Pulangnya kemana?” tanyanya sambil meletakkan pantatnya yang  kencang dan  hanya  ditutup oleh rok hitam pendek. Pahanya  langsung  terlihat ketika  ia menyilangkan kakinya. Mulus dan bersih. Wangi parfum  murah menusuk hidung saya. “Ee..  ke  kampus.”  jawab  saya  polos.  Saya  lihat  bibirnya   yang berlipstik  tebal  tersenyum nakal menghembuskan asap  rokok  ke  arah saya.  Gila, berani betul ini cewek. Matanya memperhatikan  saya  dari atas  ke  bawah.  Rambutnya  panjang  sebahu  dan  ujungnya   menutupi ketiaknya  yang  tidak  tertutup  baju.  Ia  memakai  baju  hitam  tak berlengan dengan belahan sangat rendah. Terlihat belahan putih dadanya yang menyembul dibalik bajunya. “Ooo.. mahasiswa yaa?” tanyanya cuek. “Payah..” “Kenapa?” saya balik bertanya. “Duitnya tipis” jawabnya sambil ketawa. “Tapi ‘kan otaknya encer” kilah saya nggak mau kalah. “Percuma.

Lagian  nggak tahan lama” katanya sambil  membuang  puntung rokok ke arah rel kereta api. “Apanya?” “Goyangnya”  jawabnya sambil memencet hidung saya. Gila. Pikiran  saya ternyata  benar. Dia termasuk salah satu “penghuni”  gerbong  nganggur itu. “Emangnya kenapa?” saya jadi tertarik untuk menggoda. “Ya nggak enak donk. Udah dibayar murah, nggak puas lagi” Saya  hampir kehabisan  jawaban.  Terus  terang saya nggak  pengalaman  dalam  soal beginian.  Saya  beranikan  diri mengusap tangan  kirinya  yang  putih mulus. Ia cuek saja. Benda dibalik celana saya kontan bergerak naik. “Kan bisa belajar….biar bisa lebih lama” kata saya. Ketemu juga. “Enak  saja.. emangnya kuliah” katanya. Bibirnya mencibir manja.

Lalu ia menepis tengan kanan saya yang asik mengelus tangan kirinya. “Kan bisa jadi langganan” kata saya sambil pindah mengelus bahunya. “Biasanya berapa satu rit?” Benda saya makin tegang. “Tergantung. Kalau biasa-biasa aja sih cuma dua puluh ribu” Ia menepis tangan saya dari bahunya. “Mahal amat… Eh, yang biasa-biasa itu gimana?” “Yaa..begitu   deh.  Celentang,  tancep,  goyang,   selesai”   katanya cekikikan. Rupanya ia ketemu orang yang baru tahu soal begituan. “Kalau yang nggak biasa?” tanyaku ingin tahu. “Emangnya  situ belon tau ya? Payah amat sih. Enak  lho,….  diginiin nih”  katanya  sambil  memasukkan  jari  telunjuk  kanannya  ke  dalam mulutnya sendiri, lalu dimaju mundurkan. “Hah, diisep? Astaga..” Saya terkejut. “Apa situ nggak muntah?” “Waktu pertama sih jijik juga.

Abis bayarnya mahal, lama-kelamaan suka juga. Enak malah. Kalau yang masih muda sih, biasanya saya telan. Obat amet muda..hi..hi..” Saya bergidik. “Kayak saya?” “Kalau situ mau. Tapi bayarnya dua kali lipat” “Nggak ah. Kalau gratis sih mau. Kan promosi” “Huh! Maunya!” katanya. Iapun berdiri dan meninggalkan saya. “Mau kemana?” tanya saya sambil berusaha menangkap lengannya. “Cari langganan. Situ mau nggak?” “Ogah. Kalau gratis sih mau” “Gini saja deh,” katanya mengalah “Situ  bayar  biasa,  tapi  saya  kasih  yang  istimewa.   Itung-itung promosi.. gimana?” Kini ganti tangannya menarik-narik tanganku.

Dengan setengah malas saya bangun dari duduk mengikuti tarikannya. “Ee.. ee.. ntar.. ” “Ntar  apanya?”  tanyanya sambil tetap menarik tangan  saya.  Akhirnya saya  berjalan juga mengikuti langkahnya. Batin saya berkecamuk.  Saya belum  siap  untuk ini. Tapi gairah dalam diri saya sudah  naik  sejak nonton  tadi.  Benda kecil dalam celana saya pun  sudah  tegang.  Saya mengikuti  langkahnya  melewati gerbong-gerbong kereta  barang.  Dalam remang-reman  saya melihat dalam gerbong-gerbong itu diterangi  lilin. Banyak  perempuan  dengan pakaian yang mirip dengan cewek  ini  sedang duduk-duduk.  Ada  yang sudah ditemani laki-laki.  Sesekali  terdengar tawa mereka. “Hei  Marni,  hebat  lu. Waya gini udah dapet!”  Seorang  dari  mereka meneriaki cewek yang bersama saya. Rupanya cewek ini namanya Marni. Ia cuek saja dan terus menarik tanganku berjalan ke ujung gerbong. “Kita mau kemana?” tanya saya. Suara saya bergetar. Gugup. “Tenang aja. Kita pilih tempat yang paling sip.” Tiba  di gerbong terakhir ia berhenti. Ia naik ke pintu  gerbong  yang memang tidak berpintu. Karena tinggi ia berpegang ke pundak saya. Saya mencoba  membantu  dengan mendorong pantatnya. Empuk sekali.

Tiba  di dalam  ia  menggeser karton bekas untuk menutup pintu kiri  dan  kanan gerbong. Dalam gerbong hanya ada sebatang lilin, tapi cahayanya  cukup untuk  menerangi  seluruh  ruangan gerbong. Di  sudut  lantai  gerbong terhampar  satu  tikar lampit lusuh. Nampaknya  sudah  sering  dipakai untuk operasi. Tanpa  canggung Marni mulai melepas pakaiannya satu  persatu.  Pertama bajunya.  Lalu  roknya.  Terus behanya  yang  berwarna  hitam.  Begitu behanya  terlepas, payudaranya langsung menyembul dan bergoyang  indah mengikuti  gerakan  badannya.  Putih,  mulus  dan  kencang.  Putingnya terlihat mungil dan indah. Tanpa menghiraukan saya yang masih  bengong ia  pun  membuka  celana  dalamnya  yang  juga  berwarna  hitam,   dan dilemparkannya ke tumpukan pakaiannya. Saya terpesona. Kaget. Tidak mengira sedemikian cepat prosesnya. Di hadapan saya  kini ada  sesosok  tubuh  wanita cantik dan putih  telanjang  bulat,  tanpa sehelai   benangpun  menutupinya.  Begitu  indahnya.  Pandangan   saya langsung  ke selangkangannya yang berbentuk segitiga dengan  rambutnya yang lebat. Saya menelan ludah berkali-kali. Ngiler. “Koq bengong? Mau dibukain?” tanyanya membuyarkan keterpesonaanku. “Eh  sorry..” kata saya sambil mempreteli pakaian saya satu per  satu.

Saking  terburu-buru  saya hampir terjatuh. Ia  cekikikan.  Saya  buka semuanya,  tinggal celana dalam saya yang sudah mulai basah di  bagian depan karena menahan napsu dari tadi. Batang kemaluan saya yang  sudah tegak menonjol ke depan. Saya ragu. “Ayo  dong,  semuanya”  katanya sambil  membungkuk,  mencengkeram  dan memelorotkan  celana  dalamku.  Penis saya  yang  tadi  tertahan  jadi melonjak keluar begitu celana dalam saya turun. “Waw…,  gede  juga” serunya, sambil mencengkeram penis  saya  dengan tangan  kanannya. Saya terkejut. Berani betul orang ini.  Sudah  nggak ada malunya lagi. “Sini”  katanya sambil membimbing duduk menyandar ke dinding  gerbong, sambil  tetap memegang penis saya yang tegang. Permukaan  tikar  lusuh menggesek  kulit pantatku. Ia berlutuh dihadapanku dan  membuka  kedua pahaku.  Penisku yang tegang digenggamnya dengan kedua tangannya  yang halus  dan  mengocoknya pelan.

Tampaknya ia memang  profesional.  Lalu sambil  tersenyum kepadaku ia menundukkan kepalanya, membuka  mulutnya dan menjulurkan lidahnya ke arah penisku… “Ahhh…”  hanya itu yang terucap ketika ia mulai menjilat  kemaluanku dari  kantong  pelir  sampai  ke  helmnya.  Ia  berhenti  sejenak  dan tersenyum  kepadaku.  Lalu  menjilat lagi dengan  lancar,  turun  naik searah  batang kemaluanku, kiri dan kanan. Saya hampir  tidak  percaya melihatnya.  Rasa geli dan nikmat bercampur jadi satu.  Cairan  bening yang  keluar  dari batangku sudah bercampur dengan ludahnya.  Ia  lalu memasukkan batang kemaluanku perlahan-lahan ke dalam mulutnya. “Ahhh…  nikmaaa…..tth”  lirihku ketika  ia  mulai  menyedot-nyedot batangku, mulutnya mundur maju memasukkan dan mengeluarkan batang  itu tanpa  mengenai giginya, tanpa rasa geli sedikitpun, sambil  tangannya menekan  selangkanganku.  Gila!  Begini  nikmat  rupanya  rasa   orang bersetubuh.

Tangankupun  sudah tidak tinggal  diam.  Kuusap  bahunya, kepalanya,  payudaranya kuremas-remas, putingnya kupelintir.  Kala  ia menyedot batangku kuat, kupegang kepalanya… “ah..ahh..aaaaahhh..  enak… ahh..” Ia tak bersuara tapi  terus  saja menyedot-nyedot batangku. Lidahnya Hanya sesekali suaranya bergumam “mmmfh…mmmf…”  Terkadang  ia menjilati kepala  batangku.  Lidahnya berputari  mengitari  helm  penisku yang  telah  mengkilat  itu.  Lalu memonyongkan  bibirnya, mengecup dan menyedot-nyedotnya dengan  nafsu. Lalu  memasukkan  dan mengeluarkannya kembali. Hebat.  Keringat  telah mengucur  dari badanku. Lama-kelamaan saya tidak kuat. Ia makin  cepat menyedot-nyedot  batang  kemaluanku dengan sangat nafsu. Kali  ini  ia memutar-mutar  kepalanya.  Kemaluanku terasa dipelintir  dan  dipijat- pijat. Nikmat sekali. “Ahh…ahh..   terus..   .  enak…  aduh…   nikmaat…   ahhh   … aaaaaah…..sshh” Kakiku kelojotan dan kepalaku menggeleng kiri-kanan. Kepalanya  kucengkeram sambil mengikutinya  mengulum-ngulum  batangku.

Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti, malah tambah cepat. Edan!  Apa mungkin ia aku akan ejakulasi di mulutnya? Kayaknya sih begitu. “Ah..  ahhh.. Cret! Creett! Crott! Aaaaaaaaahh…”. Kuangkat  pantatku sambil menekan kepalanya. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaw…   Cret!  Cret!  Crott!”  Ya  ampun!   Batangku memuntahkan air mani beberapa kali dalam mulutnya. Ia menyedot  dengan napsu dan berkali-kali menelannya tanpa rasa jijik sedikitpun.  Bahkan yang  berceceran  di  batangku  pun  dijilatinya  hingga  licin,   dan ditelannya. “Hmm..  mmmm…”  Gumaman  itu saja yang keluar  dari  mulutnya.  Saya terhempas lunglai dan ia terus menjilati kemaluanku seperti tak pernah puas.  Ia mengangkat mukanya dan tersenyum kearahku  sambil  menjilati air mani yang masih tersisa di bibirnya. Gila ini orang! “Enak  kan?!” Tanyanya. Saya tidak menjawab, tapi  hanya  mengacungkan jempolku.  Ia lalu menarik tanganku, menyuruhku berdiri. Saya  berdiri dan  ganti ia duduk bersandar. Tak berkedip aku  menatapnya.  Tubuhnya begitu  putih,  indah,  padat dan  menggairahkan.  Payudaranya  montok menggantung   dan  menantang  dengan  putting  yang  mungil   ditengah lingkaran kecoklatan. “Gantian” katanya. Hah?! “Apa?” tanyaku tak percaya. “Gantian  dong. Sekarang situ yang kenyot nonok saya”  katanya.  Gila! Ini  persetubuhanku yang pertama, tapi sudah disuruh menghisap  vagina perempuan.  Bagaimana  caranya?

Supaya  ia  tidak  kecewa  saya  lalu berlutut  diantara  kakinya.  Kuusap kedua pahanya  yang  putih  mulus dengan  kedua tangan. Tak percaya rasanya malam ini  saya  benar-benar menyetubuhi  wanita.  Sebelumnya saya hanya menyaksikan  tubuh  wanita lewat  film-film BF. Ia tertawa melihat kemaluan saya  yang  mengecil. Saya lalu mendekati kemaluannya. Saya lihat jembutnya begitu tebal dan indah  menghiasi barangnya. Tapi kemudian ia memegang kepala saya  dan menariknya ke arah dadanya. “Ini  dulu” katanya. Saya tidak menolak. Saya meremas  kedua  teteknya yang  kenyal  dan  dan kencang itu dengan lembut  dan  mulai  mengulum pentil kanannya. “Ahhh…  ”  lirihnya lembut. Saya memutar lidah  menggelitik  putting itu.  Ia  menggelinjang  kegelian.  Lalu  kusedot-sedot  seperti  bayi menyusu. “Ahh…  ahhh.. terus …yang kiri..” Akupun pindah,  menyedot  pentil sebelah kiri, sambil terus meremas. Tangan kanannya memegang  kepalaku sedang  yang kiri menjamah batangku, mengurutnya dengan gemas.  Kontan batangku yang tadinya kecil mulai mengeras lagi. “Asyiiik…  keras lagi… ah… ah” lirihnya girang sambil  menikmati hisapanku  di  buah  dadanya. Ia semakin  semangat  mengurut  penisku. Cairan  mulai keluar lagi dari ujung helmnya. Aku  kemudian  berganti- ganti kiri dan kanan menghis! ap teteknya. Ia menikmatinya dan matanya terpejam saking nikmatnya. “Turun”  katanya pendek.

Sayapun menurunkan kepala saya ke arah  perut dan  terus kebawah. Tangannya terlepas dari batang kemaluanku.  Tangan saya  mengelus pinggangnya kiri kanan. Kini saya berada tepat di  atas kemaluannya  yang berambut tebal itu. Bau aneh saya rasakan tapi  saya tidak perduli. Nafsu saya sudah naik lagi. Ini kesempatanku untuk tahu bagaimana  rasanya menghisap kemaluan perempuan. Saya menyibak  rambut hitam  lebat  yang menutupi vaginanya. Karena gelap, saya  tidak  bisa melihat dengan jelas. Karena itu saya coba merabanya. “Ooooh…”  ia  mengerang  lembut. Terasa ada cairan  basah  di  bawah belahan  vaginanya.  Saya  mengusap-usap  bibir  labianya.  Pinggulnya bergoyang menahan geli. “Jilat  dong…  ooohh..” pintanya lirih.

Saya mulai  menyentuh  bibir vaginanya yang basah itu. Terasa lembut, asin dan kenyal. “Nahhh…  gitu… hhh… aw… geli… enak… oooohh…”  rintihnya. Kini  bibirku yang mengecup, mengulum dan menyedotnya seperti  mencium dan  memagut  bibir wanita. Ia  menggelinjang,  menggoyang  pantatnya, kegelian. “Terusssh…  ahhh…  ahhh… ahh” Tangannya turun  membantu  menarik selangkangannya, sehingga bibir vaginanya ikut terjewer. “Atasnya… atasnya… hisaaap… ohhh” Aku tidak tahu yang mana  yang atasnya.  Yang  aku tahu adalah ujung atas bibir  kemaluannya.  Kecil, sebesar  biji  kacang. Mungkin ini yang  disebut  kelentit.  Kumainkan dengan   telunjuk,  kuhisap  dan  kukenyot-kenyot.   Ternyata   benar, reaksinya luar biasa. “Aaawww… ahh.. iya.. ituu… ahh.. teruuuuss… ssstt… enaaaak…” rintihnya  keras  sambil  menggoyang  pinggulnya.  Ia  lalu  menaikkan kakinya  dan  kedua belakang lututnya mampir dipundakku.

Aku  semakin hot.  Lalu silih berganti, kujilat vaginanya dan kuhisap  kelentitnya. Rasa  asin ! cairan yang keluar dari vaginanya itu tidak  kuperdulikan lagi  bahkan  kadang kutelan karena napsuku yang  membara.  Kemaluanku sudah   tegang  lagi,  siap  untuk  babak  berikutnya.  Tiba-tiba   ia menurunkan kakinya dan menarik kepalaku dengan tangannya. “Nggak  tahan…” katanya. Lalu bangkit berdiri dan  menyuruhku  duduk menyandar  seperti  tadi. Aku menurut saja. Batang  penisku  kelihatan berdiri  tegak  dan garang seperti menara. Ia lalu  duduk  menghadapku mengangkangi pinggulku. Dicengkeramnya penisku dengan tangan  kanannya sementara  tangan  kirinya memegang bahu  kiriku.  Lalu  digosok-gosok ujung  penisku  itu  di permukaan  kemaluannya  dan  kelentitnya.  Aku terangsang  hebat  dan meremas kedua payudaranya  yang  bergelayut  di depan  mukaku. Kuhisap dan kukenyot pentilnya  berganti-ganti.  Dengan penuh napsu ia mulai menurunkan badannya dan membimbing batang penisku masuk ke dalam vaginanya. “Blesss… ” Penisku langsung amblas.

Aku merasakan lubang kemaluannya hangat dan berdenyut hebat. Nikmat sekali. Antara geli dan hangat.  Ia mengangkat  pantatnya  perlahan lalu menurunkannya lagi.  Akhirnya  ia seperti  main kuda-kudaan, mengangkat dan menurunkan pantatnya  dengan cepat,  hin!  gga  selangkangannya beradu  dengan  selangkanganku  dan mengeluarkan suara keras. “Plok …plok… plak… plak…” Mulutnya merintih-rintih dan mencari mulutku. Segera kusambut dengan pagutan penuh napsu. Lidahnya  meliuk- liuk  ke dalam mulutku. Kadang-kadang bibirku dikenyotnya. Napsu  kami sudah begitu membara dan hanya itu cara melampiaskannya. Aku merasakan penisku  seperti  diurut-urut.  Apalagi  ketika  pinggulnya  melakukan gerakan  memutar.

Ya ampun nikmatnya. Terasa  dipilin-pilin.  Tanganku pun  jadi  liar, meremas-remas pantatnya yang kencang dan  padat  itu. Kadang-kadang mengusap badan belakangnya. Ia  memegang  kedua  payudaranya dan  memasukkan  mukaku  diantaranya. Hangat dan kenyal. Aku gesek-gesekkan kedua pipiku di antara dua bukit daging  itu.  Ia  pun semakin napsu  menggoyang  pantatnya.  Kepalanya sering terkulai kebelakang saking nikmatnya. “Ahh.. ahh.. ooo… aww… kontolnya… besaar… enaakk…” Tiba-tiba ia  berhenti.  Tanpa mencabut kemaluanku, badannya berputar  dan  kini membelakangiku.  Dengan bertumpu ke kedua lututku ia  menggenjot  lagi pantatnya turun naik. Mulutnya merintih lagi.. “Ahh…  ahh…  enaak… nikmaat… aww… terussshh…”  Gila.  Kini kemaluanku   terasa  sekali  menggesek  dinding   vaginanya.   Rasanya menggerinjal  memijit-mijit  kulit atas  batang  penisku.  Pemandangan didepankupun  demikian  indahnya.

Pantatnya  yang  putih  dan  montok menghadap  wajahku. Ditengahnya lubang dubur yang kehitam-hitaman  dan dibawahnya  lubang  kemaluannya  sedang  asik  menghisap-hisap  batang penisku.  Aku  meremas-remas pantat montok itu dan  kedua  ibu  jariku menarik kedua bibir pantatnya didekat vaginanya. Kelihatan  penisku sedang mengebor lubangnya maju mundur dengan  gagah dan garang. Batangnya licin dan mengkilat karena dibasahi cairan  kami yang sudah bercampur jadi satu. Nikmatnya sulit dilukiskan  kata-kata. Lalu  ia  menegakkan  badannya dan  melipat  kakinya.  Posisinya  jadi berlutut  membelaka!  ngiku. Dengan santai ia merebahkan  badannya  ke belakang, ke arah dadaku. Dengan bertumpu kedua tangannya ia  mengayuh lagi. “Ahh…   nikmatnyaa…   uhhh…   kontolnya….   besarr…   hh…. enaaak…”  Batang kemaluanku kini keluar masuk dengan  ujung  helmnya menelusuri dinding depan lobang vaginanya. Tak terkatakan betapa  geli dan  enak  bersetubuh  seperti  ini.  Pantatnya  kini  beradu   dengan selangkanganku dan menimbulkan suara keplok, menambah semangatku untuk menggenjotnya.. Cewek ini benar-benar profesional dan tahu banyak cara bersetubuh.

Tanganku  meraih  buah  dadanya  dari  bawah   ketiaknya. Kuremas-remas  dengan gemas dan penuh napsu. Ia memalingkan  kepalanya keaarah wajahku dengan bibir terbuka. Segera kusambut dengan  bibirku. Kami berpagutan sekenanya karena kepalanya bergoyang-goyang  mengikuti irama pinggulnya. Benar-benar nikmat. Beberapa  saat kemudian dia berhenti lagi. Tepat saya hampir  mencapai klimaks. Ia seperti tahu bahwa aku mau keluar. Mau apa lagi ni orang , fikirku.  Ternyata  ia berdiri dengan cepat  dan  meninggalkan  batang kemaluanku  yang  bergoyang seperti bandulan. Tegak  dan  keras,  tapi mengkilat  dan basah oleh cairan. Ia menarik tanganku sebagai  isyarat agar  bangun. Aku pun berdiri mengikuti tarikannya. Lalu ia  bersandar di dinding gerbong dan mengangkat kaki kirinya dengan tangan  kirinya, sedangkan tangan kanannya menarik bahuku. “Ayo  masukin…hhh …” perintahnya pendek. Diamput! Ini  benar-benar malam  istimewa.

Baru pertama kali bersetubuh sudah diajari  bermacam- macam gaya untuk mendapat kenikmatan. Akupun merendahkan tubuhku  agar burungku  bisa masuk dari bawah. Kaki kirinya melingkar  ke  pinggulku dibantu  oleh tangan kirinya. Tangan kanannya melingkar di bahuku  dan mulutnya mencari-cari bibirku. Dengan menuntun batangku dengan  tangan kananku kutempelkan ujung helm penisku itu di depan lia! ng vaginanya. “Bless…  clep…  clep…”  Dalam sekejap  batang  penisku  langsung menancap   sarungnya.  “Aaaawww….”  jeritnya   merintih,   merasakan kenikmatan  yang dialaminya. Kini batangku merasakan  seluruh  dinding vaginanya seperti memijit-mijit. Geli dan nikmat. Sedangkan  bulu-bulu kemaluannya menggelitik selangkanganku. Aku tidak perduli. Aku  merasa dorongan dalam diriku seperti tidak tertahan. Aku  mungkin akan orgasme.

Aku memagut bibirnya dengan  kuat.  Kembali lidahnya  meliuk-liuk  liar dalam mulutku.  Ketika  lidahnya  ditarik, ganti  lidahku  yang menjelajah dalam mulutnya.  Begitu  terus.  Kedua tanganku   meraih  pantatnya  yang  kencang  dan   menekannya   kearah selangkanganku.  Lalu  kugenjot  dengan irama  yang  teratur.  Matanya terpejam, tak kuasa menahan rasa enak yang datang dari vaginanya. “Mmmmfff… mmmfff…” Ia merintih tertahan, karena mulutnya tersumpal lidah  dan  bibirku. Ini tidak berlangsung lama karena  kaki  kanannya mulai  bergetar.  Akupun merasa lututku lelah. Gejolak  menuju  puncak kenikmatan jadi tertahan karena pegal. Perlahan-lahan kucabut batangku dan  iapun  menurunkan kaki kirinya.

Mulutnya masih  memagut  bibirku, seperti takut kehilangan. Akupun tak mau melepaskannya dan  memeluknya erat-erat. Mesra sekali rasanya. Batang  kemaluanku  tertekan diantara perutku dan  perutnya.  Ia  lalu menggoyang   badannya  kiri  dan  kanan,  menggesek   batang   penisku keperutnya.  Amboi!  Ia  lalu  melepaskan  ciumannya  dan   merebahkan badannya celentang dengan kaki terbuka lebar. Vaginanya jadi  terlihat jelas dibawah rimba hitamnya. “Ayoh..  hhh…  terusin… ” katanya. Ia pun nampaknya  sudah  hampir mencapai klimaks. Tanpa menunggu perintah dua kali akupun menindihnya. This  is  the  real  ecstasy, fikirku.  Dengan  memagut  bibirnya  dan mendekap  erat  tubuhnya aku berusaha memasukkan  penisku  yang  masih tegang  itu  ke  dalam  vaginanya. Tanpa  dituntun,  kali  ini  batang kemaluanku nampaknya sudah hafal menuju tujuannya sendiri. “Blesss……….” Amblas lagi, tanpa rintangan sedikitpun. “Ahhh….  ”  rintihnya  lepas. Kedua kakinya  melingkar  di  belakang pinggulku.  Aku  berhenti  sejenak  untuk  melepskan  pegal,  tapi  ia menggoyang-goyang    pinggulnya,   tanda   ingin   digenjot.    Akupun menggenjotnya turun naik. Makin lama makin cepat.

Ciuman  dibibirkupun makin  menggila.  Aku jadi ikut memutar pinggulku  mengiringi  putaran pinggulnya. Suara yang timbul pun ramai. “Plak..  plok…  plak… plok…” ! Kali ini aku  tidak  tahan  lagi. Nampaknya iapun begitu. “Aaaaaw….  ah! ah! ah!” Tiba-tiba ia mengejang dan mendekapku  kuat- kuat. Tangannya mencengkeram rambutku. Bibirnya memagutku liar.  Kedua kakinya  yang  melingkar di pinggulku menekan kuat.  Vaginanya  seprti menyedot  batangku dengan kuat. Seiring dengan itu Cret!  Cret!  Cret! Cret! Kurasakan batangku tersiram cairan hangat didalam vaginanya. “Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh….!”  jeritnya.  Aku  membalasnya dengan  menghunjam penisku sedalam-dalamnya. Aku orgasme! Cret!  Cret! Cret! Nikmat! “Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh….”

Kutembakkan seluruh air maniku ke  dalam vaginanya.  Aku terhempas dalam lautan kenikmatan yang  tiada  duanya. Aku terkapar dengan kepuasan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Diatas  tubuh  molek dan montok tak tertutup selembar  benangpun.  Aku hampir  tertidur di atas tubuh bugilnya jika ia  tidak  membangunkanku dengan sebuah ciuman mesra di pipiku. “Puas?!” tanyanya berbisik. “He-eh” hanya itu jawabku. “Mau  diterusin?!”  tanyanya menantang, sambil  menggoyang  pinggulnya kedepan.  Penisku  masih tertanam dalam vaginanya,  tapi  sudah  mulai mengkerut. “Ampun deh!” jawabku. Ia tertawa. “Kalo  gitu  bangun  dong” pintanya. “Ntar dulu ah,  masih  enak  nih” kataku  manja.  Ia  tak berkata-kata lagi.  Hanya  tangannya  mengelus rambutku, mesra. Sesekali ia mencium pipiku. Kemudian kami berpakaian.

Saya  menyelipkan  uang lima puluh ribu, bukan duapuluh  ribu  seperti yang  dimintanya.  Ia bertanya kenapa, saya jawab bayaran  itu  memang pantas  untuk layanan yang telah diberikan. Ia berterima kasih  sambil berkata  bahwa  saya  tidak perlu sedermawan itu,  karena  ia  sendiri mencapai kepuasan yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Kebanyakan   pelanggannya  langsung  pergi  setelah   klimaks,   tanpa memperdulikannya.  Yang  penting dibayar, fikir  mereka.  Ia  bertanya apakah  saya mau pulang, saya jawab ya. Ia lalu minta diantar dulu  ke tepi jalan untuk cari kendaraan umum. Ia juga ingin pulang. Saya tanya kenapa  tidak  cari langganan lagi.

Dia bilang sudah puas,  untuk  apa lagi. Saya tanya apakah minggu depan ia ada disini, ia jawab ya dan ia akan tunggu di tempat yang sama, jika saya mau datang. Sebelum  keluar gerbong ia memeluk dan menciumku, lama sekali. Seperti tidak mau berpisah denganku. Minggu depannya saya datang  lagi kesitu, dan menunggu di bangku stasiun. Lama saya menunggunya,  tetapi ia tidak muncul. Saya tanyakan kepada teman-temannya kemana dia pergi, kata mereka ia sudah tidak “jualan” lagi sejak malam bersama saya itu.

Saya  tanya  apakah ada yang tahu rumahnya, mereka  bilang  dia  sudah pindah entah kemana. Mereka menggoda agar salah satu dari mereka dijadikan pengganti,  tapi saya  tidak  mau. Sejak itu saya tidak pernah menemuinya  lagi  sampai saya kawin dan berkeluarga. Terima kasih Marni… Kau telah memberikan kenikmatan sekaligus pelajaran yang pertama buatku.    …

 

 

Aku sudah menikah selama hampir 15 tahun dan dikaruniai 4 anak yang lucu-lucu. Sudah lama sebelum aku menikah dengan isteriku ibu mertuaku sudah berstatus seorang janda yang relatif masih cantik dan memang aku akui tubuhnya menggairahkan.
Pada awal pernikahanku dengan isteriku Yanti, segalanya begitu baik. Ibu mertuaku memang selalu berpakaian sopan dan tidak pernah menunjukkan hal-hal yang tidak baik. Tingkah lakunya selalu santun penuh sabar dan banyak memberikan pemikiran yang baik dan memang ibu mertuaku banyak disukai ibu-ibu RT di sekitar rumahnya.
Aku akui sampai sekarang memang aku belum mampu mempunyai rumah sendiri, sehingga sejak awal pernikahanku aku tinggal di rumah mertuaku. Isteriku adalah dua bersaudara, kakaknya juga perempuan ikut suaminya di pulau lain, sehingga memang ibu mertuaku kasihan kalau tinggal di rumah sendiri tanpa ada yang menemani.
Pada waktu itu memang aku selalu hormat pada ibu mertuaku dan aku juga cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah ibu mertuaku sehingga aku cepat diterima sebagai warga yang baik di situ.
Pada waktu itu aku sudah kerja di usaha garment. Letak kantor dan rumahku yaitu rumah ibu mertuaku sangat jauh, boleh dikatakan berbeda kota, sehingga aku selalu harus berangkat ke kantor pagi-pagi subuh. Hal ini memang sudah menjadi rutinitas sehari-hari yang wajar.
Hari demi hari berjalan wajar dan isteriku mulai mengandung anakku yang pertama. Setiap pagi apabila aku bersiap-siap pergi ke kantor selalu isteriku belum bangun, bahkan sampai aku berangkat biasanya dia belum bangun. Tetapi ibu mertuaku selalu sudah bangun dan sudah rapih, dan membantuku dengan menyiapkan sarapan. Semuanya berjalan baik.
Sampai suatu pagi ketika aku bangun tidur, ibuku biasanya baru selesai mandi dan beres-beres rumah. Tetapi tidak seperti biasanya, sekali ini aku lihat ibuku keluar dari kamar mandi hanya memakai kimono yang ketat. Peristiwa itu memang tidak terlalu menjadi perhatianku karena dia adalah ibu mertuaku.
Besoknya terjadi hal yang sama, ibuku keluar dari kamar mandi pada saat aku baru bangun dan duduk di ruang tengah, dan sekali ini belahan tengah kimono di dada agak sembarangan di tutup sehingga agak terbuka sedikit. Yang mengkhawatirkan adalah hal ini mulai mempengaruhi pikiranku, tetapi aku selalu berhasil mengusirnya. Anehnya peristiwa seperti ini, aku baru bangun dan ibu mertuaku yang ceroboh selalu terulang.
Dan yang lebih lagi beberapa minggu kemudian pada saat aku baru bangun ibuku seperti biasa keluar dari kamar mandi dan seolah menjadi kebiasaan aku selalu mencuri-curi lihat ke tubuh ibu mertuaku. Tapi sekali ini ibuku hanya memakai handuk yang dilingkarkan ke tubuhnya. Dan jelas handuk tersebut terlalu pendek untuk menutupi semua kulit putih mulus milik ibu mertuaku. Aku akui memang ibu mertuaku masih terbilang muda atau orang mengatakannya awet muda.
Ibu mertuaku hanya senyum-senyum tanpa bersalah lewat di depanku dan masuk ke kamarnya. Adegan handuk ini kembali menjadi rutin yang seolah-olah berbalas-balasan antara ibu metuaku yang sedikit-sedikit seolah berusaha “menunjukkan” dan aku yang sedikit-sedikit berusaha mencuri lihat.
Sampai suatu hari seperti biasa ibuku lewat di depanku dan masuk ke kamarnya dan memang pintu kamarnya tidak pernah di tutup rapat, selalu dibiarkannnya agak rengga sedikit, seolah-olah lupa.
Dan di dalam kamar ketika ibu mertuaku ganti baju di balik pintu sekali-sekali ibuku berjalan di kamarnya dari satu ujung ke ujung yang lain untuk mengambil sesuatu yang ketingalan di lemari, dengan hanya memakai celana dalam dan BH. Seolah-olah tidak ada yang melihat, tetapi kadang-kadang aku menangkap sudut matanya yang sekejap melihat seperti ingin tahu apakah aku memperhatikannya atau tidak.
Kadang-kadang di dalam kamarnya itu ibuku memijit-mijit kakinya yang memang mulus, seperti pegal atau apa aku tidak tau. Sambil duduk di pinggir tempat tidur dan masih memakai handuk di tubuhnya ibuku memijit-mijit kakinya dan kadang-kadang mengangkatnya sedikit, dan kadang-kadang seperti tidak sengaja agak merenggangkan pahanya sehingga aku dapat melihat celah-celah di antara pahanya dalam kegelapan tertutup handuk. Kadang aku seperti melihat lirikan mata ibu mertuaku sekejap dan seolah merasa puas kalau mengetahui bahwa aku berusaha melihatnya di celah pintu yang agak renggang.
Kejadian ini berulang. Dan keadaan sehari-hari memang tidak ada perubahan sehingga isteriku juga tidak mengetahui apa-apa, terutama juga ibu mertuaku bertingkah laku biasa dan memang tidak ada apa-apa. Namun pikiranku melekat padanya dan tidak bisa melupakan kejadian-kejadian tiap pagi.
Kadang-kadang sambil memijit kakinya tiba-tiba ibu mertuaku mengangkat kakinya sebelah ke atas tempat tidur dalam posisi masih duduk di pinggir tempat tidur, sehingga terlihatlah segalanya walau hanya sebentar kemudian kakinya diturunkan lagi. Dan memang apabila keluar dari kamar kandi ibu mertuaku tidak pernah memakai baju dalam karena semua pakaiannya ada di kamar tidurnya. Dan setelah selesai berpakaian ibu mertuaku selalu senyum di kulum, seolah senang melihat aku setengah mati berjalan membungkuk-bungkuk dan aku melepaskan segalanya di kamar mandi.
Kejadian bermacam-macam sering terjadi dan segalanya jadi tidak wajar lagi. Kalau aku bersenggolan dengan ibu mertuaku selalu ada perasaan berdesir dan berdebar, tapi ibu mertuaku cuek-cuek saja. Demikian berlangsung terus aku sering “tidak sengaja” menyenggol ibu mertuaku dan ibu nertuaku kadang-kadang “tidak sengaja” menyenggolku, demikian terus sampai anakku lahir dan sampai ketika anakku berumur 4 bulan.
Pada suatu hari aku pulang kantor pagi-pagi karena aku akan mendapat shift malam karena ada order mendesak. Di rumah hanya ada ibu mertuaku karena isteriku sedang pergi ke rumah uwaknya bersama anakku. Dan biasanya kalau isteriku ke rumah uwaknya maka bisa sampai sore baru pulang. Aku memang berencana untuk membetulkan kabel listrik di rumahku yang masih kurang untuk lampu depan. Ketika aku berusaha memasang kabel yang ditembok di kamar ku lihat ibu mertuaku sedang memasukkan baju-baju yang baru diseterika ke dalam lemari siteriku. Secara insting saja aku mengambil kabel di tembok di belakang lemari yang bergelantungan yang sudah aku lepas dari atas dan secara tidak sengaja lenganku menyentuh bagian depan atas dada ibu mertuaku. Aku agak terkejut dan berusaha menarik tanganku tetapi batal karena anehnya ibu mertuaku tidak berusaha menggeser badannya supaya aku tidak terhalang, dan kembali sibuk dengan baju yang sudah diseterika.
Aku juga seperti pura-pura tidak tau dan menarik-narik kabel itu sedemikian rupa sehingga lenganku bergesekan dengan dada ibu mertuaku. Jantungku berdebar-debar kencang, dan ibu mertuaku juga aku lihat hanya membolak-balik baju yang sudah di lemari tanpa tujuan. Tiba-tiba ibu mertuaku memandangku tajam, hanya sebentar kemudian kembali sibuk dengan baju-baju di lemari.
Perlahan-lahan aku tarik tanganku dan aku pindahkan ke pundaknya untuk merangkulnya. Aku yakin ibu mertuaku bisa mendengar betapa jantungku berdegup-degup keras dan aku agak gemetaran. Ketika perlahan aku rangkul, ibu mertuaku tidak bergeser atau berpaling, dia tetap saja sibuk dengan baju-baju di lemari.
Posisi berdiriku sekarang sedemikian rupa jadi berada agak dibelakang ibu mertuaku dengan satu tangan merangkul pundaknya. Aku memandangi leher putih ibu mertuaku dari belakang, dan aku tidak tahan tiba-tiba aku peluk ibu mertuaku dan aku ciumi tengkuknya bertubi-tubi. Aku tidak perduli ibu mertuaku merasakan tonjolan keras yang merapat di belakangnya karena aku memang sudah tinggi. Ibu mertuaku tiba-tiba bergerak menghindar dan pergi serta mengatakan “jangan Dang…,” sedikit ketus, tanpa memandangku. Ibu mertuaku kembali ke ruang tengah tempat dia sedang menyeterika bajunya.
Keadaan dalam rumah memang sepi dan semua pintu tertutup sedangkan jendela depan dengan gorden tipisnya tidak bisa dilihat orang dari luar. Aku sudah demikian tinggi dan seperti kerasukan setan sudah tidak perduli dengan kaidah apapun. aku pura-pura ke dapur seolah-olah mengambil sesuatu di dapur dan kembali ke ruang tengah dari arah belakang dari ibu mertuaku. Aku pandangi tubuh ibu mertuaku dari belakang, dan memang tubuhnya indah sekali di balik baju dan rok yang ketat yang dikenakannya.
Aku pegang pundaknya dari belakang dan pelan-pelan aku usap-usap pundaknya, dan ibu mertuaku diam saja, kemudian tanganku pelan-pelan aku lingkarkan di perutnya, ibu mertuaku aku peluk dari belakang. Aku ciumi kembali tengkuknya dengan lembut, dan sekali ini aku dapat merasakan bahwa ibu mertuaku juga berdebar-debar sama seperti keadaanku. Ibu mertuaku berkata berkali-kali “jangan Dang….,” namum sekali ini tidak ketus tetapi seperti berbisik dan suaranya agak gemetar.
Tanganku aku naikkan ke dada ibu mertuaku sambil tak henti-hentinya aku menciumi leher ibu mertuaku yang putih mulus. Aku remas-remas dadanya dan ibu mertuaku tidak melawan malahan badannya agak menggeliat-geliat dan berkali-kali berbisik “Dadaaaanng”. Dari situ tanganku terus berpindah ke bawah dan masih dalam posisi memeluk dari belakang. Keadaan itu terus memanas dan akhirnya terjadilah semuanya di situ di sofa dekat meja seterikaan, aku menyetubuhi ibu mertuaku dan ibu mertuaku membalasnya dengan lebih panas.
Demikianlah awal kejadiannya. Pada mulanya aku selalu menyesal atas perbuatan yang baru saja kami lakukan tetapi seperti daya magnet yang kuat, kejadian itu selalu berulang kembali.
Kami berkali-kali melakukan diam-diam dan selalu isteriku atau tetangga-tetangga kami tidak ada yang mengetahunya, dan ibu mertuaku begitu pandai menutupi segalanya seolah tidak ada kejadian apa-apa. Aku banyak belajar dari ibu mertuaku bagaimana menutupi dan berlatih “besabar” untuk tidak melakukan kesalahan apapun di depan orang lain. Bagi orang luar yang melihatnya hubungan kami terlihat wajar, keluarga kecil yang hidup serasi bersama ibu mertuanya.
Pada setiap kesempatan aku hanya berdua dengan ibu mertuaku selalu saja seolah-olah kami tidak mau menyia-nyiakan waktu dan melakukannya dengan keras dan sangat cepat agar cepat selesai. Keadaan sembunyi-sembunyi ini seolah merasuki kami dan membuat ketagihan. Bahkan ketika kami semua di rumah dan isteriku pergi sebentar untuk berbelanja di ujung gang rumah kami atau pergi sebentar ke rumah teman, kami segera melakukannya dengan posisi berdiri atau di tempat cuci piring ibu mertuaku membungkuk dan posisiku dari belakang, kadang tanpa membuka baju kami dan hanya dibuka di daerah tertentu secukupnya. Bahkan kadang ibu mertuaku tidak melepas baju atau apapun dan hanya aku singkapkan celana dalamnya ke samping sedikit tanpa dilepas. Kalau aku bandingkan yang aku lakukan bersama ibu mertuaku bahkan lebih gila dari pada melakukannya dengan isteriku. Isteriku tidak pernah mau melakukan posisi 69, tetapi ibu mertuaku paling suka kalau permainan pembukaanya dengan 69. Hampir segala macam posisi sudah aku lakukan bersama ibu mertuaku, yang tidak pernah aku lakukan bersama isteriku. Tapi memang aku tidak pernah menuntut apapun dari isteriku.
Dulu kadang-kadang aku dan ibu mertuaku senyum-senyum berdua dalam kegiatan sehari-hari atau kadang aku berbisik yang agak porno dan ibu mertuaku mencubitku dengan keras. Kadang-kadang dalam kesempatan duduk bersama di meja makan, tanganku bergerilya di bawah meja tanpa setahu isteriku dan anak-anak, tetapi hal seperti ini sangat jarang aku lakukan karena aku dilatih untuk besabar dan tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Kalau dipikir-pikir aku melakukan hal itu dengan ibu mertuaku hampir di seluruh pelosok rumah pernah kami lakukan, mungkin ini karena selalu keadaanya darurat sehingga kami tidak memilih-milih tempat. Sepertinya aku menikmati itu semua, tetapi juga aku ingin lepas dari itu semua. Tapi anehnya hubunganku dengan ibu mertuaku dan isteriku sehari-hari seperti tidak ada perubahan sedikitpun.
Pada awalnya hampir setiap minggu aku dan ibu mertuaku melakukannya minimum satu kali, dan yang paling nekad adalah ketika malam hari aku terbangun dan diam-diam pindah ke kamar ibu mertuaku dan melakukan segalanya, seolah-olah aku yakin isteriku tidak akan terbangun, dan anehnya memang isteriku tidak terbangun.
Kadang-kadang memang hampir ketahuan oleh isteriku tetapi selalu aku atau ibu mertuaku menemukan kata-kata yang tepat untuk alasan atau membelokkan perhatian dan menutupi kejadian sesungguhnya. Kami seperti orang yang kerasukan, bahkan dalam perjalanan ke luar kota atau di rumah saudara kami sempat melakukannya di kamar mandi atau di manapun ada kesempatan hanya berdua dan tidak mencurigakan.
Sampai sekarang anakku sudah empat tetapi sekali-sekali kalau ada kesempatan aku dan ibu mertuaku melakukannya kembali. Ibu mertuaku selalu memuji-muji aku dan mengatakan aku hebat dan dia selalu terpuaskan dan klimaks. Aku tidak tau apakah rasa puas ibu mertuaku adalah karena punyaku yang memang agak besar atau karena kondisi pesikologis kami yang melakukannya diam-diam sambil agak takut-takut yang membuat kami memang ingin cepat-cepat selesai setiap kali melakukannya. Dan kami seperti keranjingan atau ketagihan akan hal ini.
Tapi di samping itu semua aku tetap tidak bisa lepas dari rasa bersalah dan rasa berdosa yang selalu juga menghantuiku. Berkali-kali aku igin lepas dari kebiasaan semua ini. Bahkan aku pernah ketus dan tegas menolak ibu mertuaku. Tetapi selalu dia dengan lemah lembut membujukku dan mengatakan apakah aku tidak kasihan kepadanya yang selalu membutuhkan itu. Dan aku demikian lemahnya sehingga selalu kembali terjebak dengan melakukan itu lagi.
Kadang aku marah pada diri sendiri, tetapi pada saat aku ingin melakukannya selalu lupa pada segala pemikiran ini dan selalu kembali melakukannya lagi.
Maafkan aku kalau aku cerita terlalu detail, karena aku masih dalam keadaan seperti keranjingan atau ketagihan dan seperti kerasukkan kalau mengenang segala detail itu. Kadang ini juga mengganggu kerjaku tetapi untunglah tidak ada halangan apapun.
Bagaimana caranya lepas dari semua ini. Aku sadar bahwa kami tidak bisa meninggalkan ibu mertuaku sendiri di rumahnya tetapi aku juga sadar dan berpikir tentang masa depan keluargaku dan anak-anakku. Apa yang sebaiknya aku lakukan.
Author : Dadang Saripudin

Aku seorang laki-laki biasa, hobbyku berolah raga, tinggi badanku 178 cm dengan bobot badan 75 kg. Tiga tahun yang lalu saya menikah dan menetap di rumah mertuaku. Hari-hari berlalu kami lewati tanpa adanya halangan walaupun sampai saat ini kami memang belum dianugrahi seorang anak pendamping hidup kita berdua. Kehidupan berkeluarga kami sangat baik, tanpa kekurangan apapun baik itu sifatnya materi maupun kehidupan seks kami. Tetapi memang nasib keluarga kami yang masih belum diberikan seorang momongan.

*****

Di rumah itu kami tinggal bertiga, aku dengan istriku dan Ibu dari istriku. Sering aku pulang lebih dulu dari istriku, karena aku pulang naik kereta sedangkan istriku naik kendaraan umum. Jadi sering pula aku berdua di rumah dengan mertuaku sampai dengan istriku pulang. Mertuaku berumur sekitar kurang lebih 45 tahun, tetapi dia mampu merawat tubuhnya dengan baik, aktif dengan kegiatan sosial dan bersenam bersama Ibu-Ibu yang lainnya. Kadang sering kulihat Ibu mertuaku pakai baju tidur tipis dan tanpa BH, melihat bentuk tubuhnya yang masih lumayan dengan kulitnya yang putih membuatku kadang bisa hilang akal sehat. Pernah suatu hari, selesai Ibu mertua selesai mandi hanya menggunakan sehelai handuk yang dililitkan ke badannya. Gak lama dia keluar kamar mandi telpon berdering, sesampai dekat telpon ternyata Ibu mertuaku sudah mengangkatnya, dari belakang kulihat bentuk pangkal pahanya sampai ke bawah kakinya begitu bersih tanpa ada bekas goresan sedikitpun.

Aku tertegun diam melihat kaki Ibu mertuaku, dalam hati berpikir “Kok, udah tua begini masih mulus aja ya..?”.
Aku terhentak kaget begitu Ibu mertuaku menaruh gagang telpon, dan aku langsung berhambur masuk kamar, ambil handuk dan mandi. Selesai mandi aku membuat kopi dan langsung duduk di depan TV nonton acara yang lumayan untuk ditonton. Gak lama Ibu mertuaku nyusul ikutan nonton sambil ngobrol denganku.
“Bagaimana kerjaanmu, baik-baik saja” tanya Ibu mertuaku.
“Baik, Bu. Lho Ibu sendiri gimana” tanyaku kembali.
Kami ngobrol sampai istriku datang dan ikut gabung ngobrol dengan kira berdua.

*****

Malam itu, jam 11.30 malam aku keluar kamar untuk minum, kulihat TV masih menyala dan kulihat Ibu mertuaku tertidur di depan TV. Rok Ibu mertuaku tersibak sampai celana dalamnya kelihatan sedikit. Kulihat kakinya begitu mulus, kuintip roknya dan terlihatlah gumpalan daging yang ditutupi celana dalamnya. Pengen banget rasanya kupegang dan kuremas vagina Ibu mertuaku itu, tetapi buru-buru aku ke dapur ambil minum lalu membawa ke kamar. Sebelum masuk kamar sambil berjalan pelan kulirik Ibu mertuaku sekali lagi dan burungku langsung ikut bereaksi pelan. Aku masuk kamar dan coba mengusir pikiranku yang mulai kerasukan ini. Aku telat bangun, kulihat istriku sudah tidak ada. Langsung aku berlari ke kamar mandi, selesai mandi sambil mengeringkan rambut yang basah aku berjalan pelan dan tanpa sengaja kulihat Ibu mertuaku berganti baju di kamarnya tanpa menutup pintu kamar. Aku kembali diam tertegun menatap keseluruhan bentuk tubuh Ibu mertuaku. Cuma sebentar aku masuk kamar, berganti pakaian kerja dan segera berangkat.

*****

Hari ini aku pulang cepat, di kantor juga nggak ada lagi kerjaan yang aku harus kerjakan. Sampai di rumah aku langsung mandi, membuat kopi dan duduk di pinggir kolam ikan. Sedang asyik ngeliatin ikan tiba-tiba kudengar suara teriakan, aku berlari menuju suara teriakan yang berasal dari kamar Ibu mertuaku. Langsung tanpa pikir panjang kubuka pintu kamar.
Kulihat Ibu mertuaku berdiri diatas kasur sambil teriak “Awas tikusnya keluar..!” tandas Ibu mertuaku.
“Mana ada tikus” gumanku.
“Lho.. kok pintunya dibuka terus” Ibu mertuaku kembali menegaskan.
Sambil kututup pintu kamar kubilang “Mana.. mana tikusnya..!”.
“Coba kamu lihat dibawah kasur atau disudut sana..” kata Ibu mertuaku sambil menunjuk meja riasnya.

Kuangkat seprei kasur dan memang tikus kecil mencuit sambil melompat kearahku. Aku ikut kaget dan lompat ke kasur.
Ibu mertuaku tertawa kecil melihat tingkahku dan mengatakan “Kamu takut juga ya?”.
Sambil berguman kecil kembali kucari tikus kecil itu dan sesekali melirik ke arah Ibu mertuaku yang sedang memegangi rok dan terangkat itu. Lagi enak-enaknya mencari tiba-tiba Ibu mertuaku kembali teriak dan melompat kearahku, ternyata tikusnya ada di atas kasur. Ibu mertuaku mendekapku dari belakang, bisa kurasakan payudaranya menempel di punggungku, hangat dan terasa kenyal-kenyal. Kuambil kertas dan kutangkap tikus yang udah mulai kecapaian itu trus kubuang keluar.

“Udah dibuang keluar belum?” tanya Ibu mertuaku.
“Sudah, Bu.” jawabku.
“Kamu periksa lagi, mungkin masih ada yang lain.. soalnya Ibu dengar suara tikusnya ada dua” tegas Ibu mertuaku.
“walah, tikus maen pake ajak temen segala!” gumamku.
Aku kembali masuk ke kamar dan kembali mengendus-endus dimana temennya itu tikus seperti yang dibilang Ibu mertuaku.
Ibu mertuaku duduk diatas kasur sedangkan aku sibuk mencari, begitu mencari di bawah kasur sepertinya tanganku ada yang meraba-raba diatas kasur. Aku kaget dan kesentak tanganku, ternyata tangan Ibu mertuaku yang merabanya, aku pikir temennya tikus tadi. Ibu mertuaku tersenyum dan kembali meraba tangaku. Aku memandang aneh kejadian itu, kubiarkan dia merabanya terus.

“Gak ada tikus lagi, Bu..!” kataku.
Tanpa berkata apapun Ibu mertuaku turun dari kasur dan langsung memelukku. Aku kaget dan panas dingin.
Dalam hati aku berkata “Kenapa nih orang?”.
Rambutku dibelai, diusap seperti seorang anak. Dipeluknya ku erat-erat seperti takut kehilangan.
“Ibu kenapa?” tanyaku.
“Ah.. nggak! Ibu cuma mau membelai kamu” jawabnya.
“Udah ya.. Bu, belai-belainya..!” kataku.
“Kenapa, kamu nggak suka dibelai sama Ibu” jawab Ibu mertuaku.
“Bukan nggak suka, Bu. Cumakan..?” tanyaku lagi.
“Cuma apa, ayo.. cuma apa..!?” potong Ibu mertuaku.
Aku diam saja, dalam hati biar sajalah nggak ada ruginya kok dibelai sama dia.

Ibu mertuaku terus membelaiku, rambut trus turun ke leher sambil dicium kecil. Aku merinding menahan geli, Ibu mertuaku terus bergerilya menyusuri tubuhku. Kaosku diangkat dan dibukanya, pentil dadaku dipegang, diusap dan dicium. Kudengar nafas Ibu mertuaku makin nggak beraturan. Dituntunnya aku keatas ranjang, mulailah pikiranku melanglang buana.
Dalam hati aku berpikir “Jangan-jangan Ibu mertuaku lagi kesepian dan minta disayang-sayang ama laki-laki”.
Aku tidak berani bertindak atau ikut melakukan seperti Ibu mertuaku lakukan kepada saya. Aku diatas ranjang dengan posisi terlentang, kulihat Ibu mertuaku terus masih mengusap-usap dada dan bagian perutku.
Dicium dan terus dielus, aku menggelinjang pelan dan berkata “Bu, sudah ya..”.
Dia diam saja dan tangan kananya masuk ke dalam celanaku, aku merengkuh pelan. Tangan kirinya berusaha untuk menurunkan celana pendekku. Aku beringsut untuk membantu menurunkan celana pendekku, tidak lama celanaku sudah lepas berikut celana dalamku.

Burungku sudah berdiri kencang, tangan kanan Ibu mertuaku masih memegang burungku dan menoleh kepadaku sambil tersenyum mesum. Kepala burungku diciumnya, tangan kirinya memijit bijiku, aku nggak tahan dengan gerakan yang dibuat Ibu mertuaku.
“Ah, ah.. hhmmh, teruss..” itu saja yang keluar dari mulutku.
Ibu mertuaku terus melanjutkan permainannya dengan mengulum burungku. Aku benar-benar terbuai dengan kelembutan yang diberikan Ibu mertuaku kepadaku. Kupegang kepala Ibu mertuaku yang bergerak naik turun. Bibirnya benar-benar lembut, gerakan kulumannya begitu pelan dan teratur. Aku merasa seperti disayang, dicintai dengan Ibu mertuaku.
“Ah, Bu.. aku nggak tahan lagi Bu..” jelasku.
“Hhmm.. mmh, heh..” suara Ibu mertuaku menjawabku.

Gerakan kepala Ibu mertuaku masih pelan dan teratur. Aku makin menggelinjang dibuatnya. Badanku menekuk, meliuk dan bergetar-getar menahan gejolak yang tak tahan kurasakan. Dan tak lama badanku mengejang keras. Kurasakan nikmat yang amat sangat kurasakan, kulihat Ibu mertuaku masih bergerak pelan, bibirnya masih menelan burungku dengan kedua tangannya yang memegang batang burungku. Dia melihatku dengan tatapan sayunya dan kemudian kembali menciumi burungku, geli yang kurasakan sampai ke ubun-ubun kepala.
“Banyak banget kamu keluarnya, Do..!” tanyaku Ibu mertuaku.
Aku terdiam lemas sambil melihat Ibu mertuaku datang menghampiriku dan memelukku dengan mesra. Aku balas pelukannya dan kucium dahinya. Kubantu dia membersihkan mulutnya yang masih penuh spremaku dengan menggunakan kaosku tadi. Aku duduk diranjang, telanjang bulat dan menghisap rokok. Sedang Ibu mertuaku, tiduran dekat dengan burungku.

“Kenapa jadi begini, Bu..?” tanyaku.
“Ibu cuma pengen aja kok..” jawab Ibu mertuaku.
Aku belai rambutnya dan kuelus-elus dia sambil berkata “Ibu mau juga.?”.
Dia menggangguk pelan, kumatikan rokokku dan terus kucium bibir Ibu mertuaku. Dia balas ciumanku dengan mesra, aku melihat tipe Ibu mertuaku bukanlah tipe yang haus akan seks, dia haus akan kasih sayang. Berhubungan badanpun sepertinya senang yang pelan-pelan bukannya seperti srigala lagi musim kawin. Aku ikut pola permainan Ibu mertuaku, pelan-pelan kucium dia mulai dari bibirnya terus ke bagian leher dan belakang kupingnya, dari situ aku ciumi terus ke arah dadanya.

Kubantu dia membukakan pakaiannya, kulepas semua pakaiannya. Kali ini aku benar-benar melihat semuanya, payaudaranya masih sedikit mengencang, badannya masih bersih untuk seumurannya, kakinya masih bagus karena sering senam dengan teman-teman arisannya. Kuraba dan kuusap semua badannya dari pangkap paha sampai ke payudaranya. Aku kembali ciumi dia dengan pelan dan beraturan. Payudaranya kupegang, kuremas pelan dan lembut, kucium putingnya dan kudengar desahan nafasnya. Kunikmati dengan pelan seluruh bentuk tubuhnya dengan mencium dan membelai setiap inchi bagian tubuhnya. Puas di dada aku terus menyusuri bagian perutnya, kujilati perutnya serta memainkan ujung lidahku dengan putaran lembut membuat dia kejang-kejang kecil. Tangannya terus meremas dan menjambak rambutku. Sampai akhirnya bibirku mencium daerah berbulu miliknya, kucium aroma vaginanya serta kujilati bibir vaginanya.

“Oucchh.. terus sayang, kamu lembut sekali.. tee.. teruss..” kudengar suaranya pelan.
Kumainkan ujung lidahku menyusuri dinding vaginanya, kadang masuk kadang menjilat membuat dia seperti ujung kenikmatan luar biasa. Kemudian ditariknya kepalaku dan melumat bibirku dengan panas. Dia kembali menidurkan aku dan terus dia menaikiku. Dipegangnya kembali burungku yang sudah kembali siap menyerang. Diarahkan burungku ke lobang vaginanya dan slepp.. masuk sudah seluruh batangku ditelan vagina Ibu mertuaku. Diangkat dan digoyang memutar-mutar vaginanya untuk mendapatkan kenikmatan yang dia inginkan.

“Ah.. uh, nikmat banget ya..!” kata Ibu mertuaku.
Dengan gerakan seperti itu tak lepas kuremas payudaranya dengan pelan sesekali kucium dan kujilat.
“Aduh, Ibu nggak tahan lagi sayang..” kata Ibu mertuaku.
Aku coba ikut membantu dia untuk mendapatkan kepuasan yang dulu mungkin pernah dia rasakan sebelum denganku. Gerakannya makin cepat dari sebelumnya, dan dia berhenti sambil mendekapku kembali. Kurangkul dia dan terus menggoyangkan batang burungku yang masih didalam dengan naik turun.
“Ahh.. ah.. ahhss..” desah Ibu mertuaku.
Kupeluk dia sambil kuciumi bibirnya. Dia diam dan tetap diatas dalam dekapanku.
“Enak ya.. Bu. Mau lagi..?” tanyaku.
Dia menoleh tersenyum sambil telunjuknya mencoel ujung hidungku.
“Kenapa? Kamu mau lagi?” canda Ibu mertuaku.

Tanpa banyak cerita kumulai lagi gerakan-gerakan panas, kuangkat Ibu mertuaku dan aku menidurkan sambil menciumnya kembali. Kutuntun dia untuk bermain di posisi yang lain. Kuajak dia berdiri di samping ranjangnya. Sepertinya dia bingung mau diapain. Tetapi untuk menutupi kebingunggannya kucium tengkuk lehernya dan menjilati kupingnya. Kuputar badannya untuk membelakangiku, kurangkul dia dari belakang. Tangan kanannya memegang batang burungku sambil mengocoknya pelan. Kuangkat kaki kanannya dan terus kupegangi kakinya. Sepertinya dia mengerti bagaimana kita akan bermain. Tangan kanannya menuntun burungku ke arah vaginanya, pelan dan pasti kumasukkan batang burungku dan masuk dengan lembut. Ibu mertuaku merengkuh nikmat, kutarik dan kudorong pelan burungku sambil mengikuti gerakan pantat yang diputar-putar Ibu mertuaku. Kutambah kecepatan gerakanku pelan-pelan, masuk keluar dan makin kepeluk Ibu mertuaku dengan dekapan dan ciuman di tengkuk lehernya.

“Ah.. ah.. Dod.. Dodo, kammuu..!” suara Ibu mertuaku pelan kudengar.
“Ibu keluar lagi.. Do..” kata Ibu mertuaku.
Makin kutambah kecepatan sodokan batangku dan.., “Acchh..” Ibu mertuaku berteriak kecil sambil kupeluk dia. Tubuhnya bergetar lemas dan langsung jatuh ke kasur. Kubalik tubuhnya dan kembali kumasukkan burungku ke vaginanya. Dia memelukku dan menjepit pinggangku dengan kedua kakinya. Kuayun pantatku naik turun membuat Ibu mertuaku makin meringkih kegelian.
“Ayo Dodo, kamu lama banget sih.. Ibu geli banget nih..” kata Ibu mertuaku.
“Dikit lagi, Bu..!” sahutku.

Ibu mertuaku membantu dengan menambah gerakan erotisnya. Kurasakan kenikmatan itu datang tak lama lagi. Tubuhku bergetar dan menegang sementara Ibu mertuaku memutar pantatnya dengan cepat. Kuhamburkan seluruh cairanku ke dalam vaginanya.
“Ahhcckk.. ahhk.. aduhh.. nikmatnya” kataku.
Ibu mertuaku memelukku dengan kencang tapi lembut.
“Waduh banyak juga kayaknya kamu keluarkan cairanmu untuk Ibu..” kata Ibu mertuaku.
Aku terkulai lemas dan tak berdaya disamping Ibu mertuaku. Tangan Ibu mertuaku memegang batang burungku sambil memainkan sisa cairan di ujung batang burungku. Aku kegelian begitu tangan Ibu mertuaku negusap kepala burungku yang sudah kembali menciut. Kucium bibir Ibu mertuaku pelan dan terus keluar kamar terus mandi lagi.

*****

Semenjak hari itu aku sering mengingat kejadian itu. Sudah empat hari Ibu mertuaku pergi dengan teman-temannya acara jalan-jalan dengan koperasi Ibu-Ibu di daerah itu. Jam 05.00 sore aku sudah ada di rumah, kulihat rumah sepi seperti biasanya.
Sebelum masuk ke kamar tidurku kulihat kamar mandi ada yang mandi, aku bertanya “Siapa didalam?”.
“Ibu! Kamu sudah pulang Do..” balas Ibu mertuaku.
“O, iya. Kapan sampainya Bu?” tanyaku lagi sambil masuk kamar.
“Baru setengah jam sampai!” jawab Ibu mertuaku.

Kuganti pakaianku dengan pakaian rumah, celana pendek dan kaos oblong. Aku berjalan hendak mengambil handukku untuk mandi. Begitu handuk sudah kuambil aku berjalan lagi ke kamar mau tidur-tiduran dulu sebelum mandi. Lewat pintu kamar mandi kulihat Ibu mertuaku keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk yang dililitkan ke badannya. Aku menunduk coba untuk tidak melihatnya, tetapi dia sengaja malah menubrukku.
“Kamu mau mandi ya?” tanya Ibu mertuaku.
“Iya, emang Ibu mau mandi lagi”? candaku.
Dia langsung peluk aku dan cium pipi kananku sambil berbisik dia katakan “Mau Ibu mandiin nggak!”.
“Eh, Ibu. Emang bayi pake dimandiin segala” balasku.
“Ayo sini.. biar bersih mandinya..” jawab Ibu mertuaku sambil menarikku ke kamar mandi.

Sampai kamar mandi aku taruh handukku sedangkan Ibu mertuaku membantu melapaskan bajuku. Sekarang aku telanjang bulat, dan langsung mengguyur badanku dengan air. Ibu mertuaku melepaksan handuknya dan kita sudah benar-benar telanjang bulat bersama. Burungku mulai naik pelan-pelan melihat suasana yang seperti itu.
“Eh, belum diapa-apain sudah berdiri?” kata Ibu mertuaku sambil nyubit kecil di burungku.
Aku mengisut malu-malu diperlakukan seperti itu. Kuambil sabun dan kugosok badanku dengan sabun mandi. Kita bercerita-cerita tentang hal-hal yang kita lakukan beberapa hari ini. Si Ibu bercerita tentang teman-temannya sedangkan aku bercerita tentang pekerjaan dan lingkungan kantorku. Ibu mertuaku terus menyabuni aku dengan lembut, sepertinya dia lakukan benar-benar ingin membuatku mandi kali ini bersih. Aku terus saja bercerita, Ibu mertuaku terus menyabuni aku sampai ke pelosok-pelosok tubuhku. Burungku dipegangnya dan disabuni dengan hati-hati dan lembut.

Selesai disabun aku guyur kembali badanku dan sudah itu mengeringkannya dengan handuk. Begitu mau pakai celana Ibu mertuaku melarang dengan menggelengkan kepalanya. Aku lilitkan handukku dan kemudian ditariknya tanganku ke kamar tidur Ibu mertuaku. Sampai di kamar aku didorongnya ke kasur dan segera dia menutup pintu kamarnya. Aku tersenyum melihatnya seperti itu, dia lepaskan handuk di badannya dan di badanku. Burungku memang sudah hampir total berdiri. Selepasnya handukku dia langsung mengulum burungku, aku terdiam melihatnya bergairah seperti itu. Cuma sebentar dia ciumi burungku, langsung dia menaikku dan memasukkan burungku ke vaginanya. Dalam hati aku berpikir kalau Ibu mertuaku memang sudah kangen banget melakukannya lagi denganku. Dia angkat dan dia turunkan pantatnya dengan gerakan yang stabil. aku pegang dan remas-remas payudaranya membuat dia seperti terbang keawang-awang.

Gerakannya makin cepat dan bersuara dengan pelan “Oh.. oh,.ahcch..”.
Dan tak lama kemudian badannya menegang kencang dan jatuh ke pelukkanku.
Kupeluk dia erat-erat sambil mengatakan “Waduh.. enak banget ya?”.
“He-eh, enak” balasnya.
“Emang ngeliat siapa disana sampai begini?” tanyaku.
“Ah, nggak ngeliat siapa-siapa, cuma kangen aja..” balas Ibu mertaku.
Kali ini aku kembali bergerak, kuciumi dia terlebih dahulu sambil kuremas payudaranya. Kubuat dia mendesah geli dan kubangkitkan lagi gairahnya kembali. Sampai di daerah vaginanya, kujilati dinding vaginanya sambil memainkan lobang vaginanya. Ibu mertuaku kadang merapatkan kakinya mendekapkan wajahku untuk masuk ke vaginanya.

“Ayo ah.. kamu ngebuat Ibu gila nanti” kata Ibu mertuaku.
Aku beranjak berdiri dan menidurnya sambil mengarahkan burungku masuk ke dalam vaginanya. Pelan-pelan aku goyangkan burungku, kadang kutekan pelan dengan irama-irama lembut. Tak lama masuk sudah burungku ke dalam dan Ibu mertuaku mendesis kayak ular cobra. Kugoyang pantatku, kunaikkan dan kutekan kembali burungku masuk ke dalam vaginanya. Aku terus bergerak monoton dengan ciuman-ciuman sayang ke arah bibir Ibu mertuaku. Ibu mertuaku hanya mengeluarkan desahan-desahan dengan matanya yang merem melek. Kulihat dia begitu nikmat merasakan burungku ada dalam vaginanya. Dia jepit pinggangku dengan kedua kakinya untuk membantuku menekan batang burungku yang sedari tadi masih terus mengocok lobang vaginanya.
“Aku nggak kuat, Do..” desah ibu mertuaku.
Aku semakin menambah kecepatan gerakanku apalagi setelah Ibu mertuaku memintaku untuk keluar berbarengan, aku menggeliat menambah erotis gerakanku.
“Acchh.. sshh.. ah.. oh” desah Ibu dengan dibarengi pelukannya yang kencang ke badanku.

Tiba-tiba kurasakan cairanku ikut keluar dan terus keluar masuk ke dalam vagina Ibu mertuaku. Aku benar-benar puas dibuat Ibu mertuaku, sepertinya cairanku benar-benar banyak keluar dam membasahi lubang dan dinding vagina Ibu mertuaku. Ibu mertuaku masih memelukku erat dan menciumi leherku dengan kelembutan. Aku beranjak bangun dan mencabut batang burungku, kulihat banyak cairan yang keluar dari lobang vagina Ibu mertuaku.
“Mungkin nggak ketampung makanya tumpah”, kataku dalam hati.
Aku pamit dan langsung ke kamar mandi membersihkan badan serta burungku yang penuh dengan keringat serta sisa sperma di batangku.

*****

Itulah terakhir kali kami melakukan perbuatan itu bersama. Sebenarnya aku berusaha untuk menghindar, tetapi kita hanyalah manusia biasa yang terlalu mudah tergoda dengan hal itu. Ibu mertuaku pindah ke rumah anaknya yang sulung, aku tahu maksud dan tujuannya. Tetapi istriku tidak menerimanya dan berprasangka bahwa istriku tidak mampu menjaga ibunya yang satu itu.

Perkenalkan dulu namaku Tomy. Sudah satu minggu ini akau berada di rumah sendirian. Istriku, Riris, sedang ditugaskan dari kantor tempatnya bekerja untuk mengikuti suatu pelatihan yang dilaksanakan di kota lain selama dua minggu. Terus terang saja aku jadi kesepian juga rasanya. Kalau mau tidur rasanya kok aneh juga, kok sendirian dan sepi, padahal biasanya ada istri di sisiku. Memang perkimpoian kami belum dikaruniai anak. Maklum baru 1 tahun berjalan. Karena sendirian itu, dan maklum karena otak laki-laki, pikirannya jadi kemana-mana.
Aku teringat peristiwa yang aku alami dengan ibu mertuaku. Ibu mertuaku memang bukan ibu kandung istriku, karena ibu kandung Riris telah meninggal dunia. Ayah mertuaku kemudian kimpoi lagi dengan ibu mertuaku yang sekarang ini dan kebetulan tidak mempunyai anak. Ibu mertuaku ini umurnya sekitar 40 tahun, wajahnya ayu, dan tubuhnya benar-benar sintal dan padat sesuai dengan wanita idamanku. Buah dadanya besar sesuai dengan pinggulnya. Demikian juga pantatnya juga bahenol banget. Aku sering membayangkan ibu mertuaku itu kalau sedang telentang pasti vaginanya membusung ke atas terganjal pantatnya yang besar itu. Hemm, sungguh menggairahkan.
Peristiwa itu terjadi waktu malam dua hari sebelum hari perkawainanku dengan Riris. Waktu itu aku duduk berdua di kamar keluarga sambil membicarakan persiapan perkimpoianku. Mendadak lampu mati. Dalam kegelapan itu, ibu mertuaku (waktu itu masih calon) berdiri, saya pikir akan mencari lilin, tetapi justru ibu mertuaku memeluk dan menciumi pipi dan bibirku dengan lembut dan mesra. Aku kaget dan melongo karena aku tidak mengira sama sekali diciumi oleh calon ibu mertuaku yang cantik itu.
Hari-hari berikutnya aku bersikap seperti biasa, demikian juga ibu mertuaku. Pada saat-saat aku duduk berdua dengan dia, aku sering memberanikan diri memandang ibu mertuaku lama-lama, dan dia biasanya tersenyum manis dan berkata, “Apaa..?, sudah-sudah, ibu jadi malu”.
Terus terang saja aku sebenarnya merindukan untuk dapat bermesraan dengan ibu mertuaku itu. Aku kadang-kadang sagat merasa bersalah dengan Riris istriku, dan juga ayahku mertua yang baik hati. Kadang-kadang aku demikian kurang ajar membayangkan ibu mertuaku disetubuhi ayah mertuaku, aku bayangkan kemaluan ayah mertuaku keluar masuk vagina ibu mertuaku, Ooh alangkah…! Tetapi aku selalu menaruh hormat kepada ayah dan ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga sayang sama kami, walaupun Riris adalah anak tirinya.
Pagi-pagi hari berikutnya, aku ditelepon ibu mertuaku, minta agar sore harinya aku dapat mengantarkan ibu menengok famili yang sedang berada di rumah sakit, karena ayah mertuaku sedang pergi ke kota lain untuk urusan bisnis. Aku sih setuju saja. Sore harinya kami jadi pergi ke rumah sakit, dan pulang sudah sehabis maghrib. Seperti biasa aku selalu bersikap sopan dan hormat pada ibu mertuaku.
Dalam perjalan pulang itu, aku memberanikan diri bertanya, “Bu, ngapain sih dulu ibu kok cium Tomy?”.
“Aah, kamu ini kok maih diingat-ingat juga siih”, jawab ibuku sambil memandangku.
“Jelas dong buu…, Kan asyiik”, kataku menggoda.
“Naah, tambah kurang ajar thoo, Ingat Riris lho Tom…, Nanti kedengaran ayahmu juga bisa geger lho Tom”.
“Tapii, sebenarnya kenapa siih bu…, Tomy jadi penasaran lho”.
“Aah, ini anak kok nggak mau diem siih, Tapi eeh…, anu…, Tom, sebenarnya waktu itu, waktu kita jagongan itu, ibu lihat tampangmu itu kok ganteng banget. Hidungmu, bibirmu, matamu yang agak kurang ajar itu kok membuat ibu jadi gemes banget deeh sama kamu. Makanya waktu lampu mati itu, entah setan dari mana, ibu jadi pengin banget menciummu dan merangkulmu. Ibu sebenarnya jadi malu sekali. Ibu macam apa kau ini, masa lihat menantunya sendiri kok blingsatan”.
“Mungkin, setannya ya Tomy ini Bu…, Saat ini setannya itu juga deg-degan kalau lihat ibu mertuanya. Ibu boleh percaya boleh tidak, kadang-kadang kalau Tomy lagi sama Riris, malah bayangin Ibu lho. Bener-bener nih. Sumpah deh. Kalau Ibu pernah bayangin Tomy nggak kalau lagi sama Bapak”, aku semakin berani.
“aah nggak tahu ah…, udaah…, udaah…, nanti kalau keterusan kan nggak baik. Hati-hati setirnya. Nanti kalau nabrak-nabrak dikiranya nyetir sambil pacaran ama ibu mertuanya. Pasti ibu yang disalahin orang, Dikiranya yang tua niih yang ngebet”, katanya.
“Padahal dua-duanya ngebet lo Bu. Buu, maafin Tomy deeh. Tomy jadi pengiin banget sama ibu lho…, Gimana niih, punya Tomy sakit kejepit celana nihh”, aku makin berani.
“Aduuh Toom, jangan gitu dong. Ibu jadi susah nih. Tapi terus terang aja Toom.., Ibu jadi kayak orang jatuh cinta sama kamu.., Kalau udah begini, udah naik begini, ibu jadi pengin ngeloni kamu Tom…, Tom kita cepat pulang saja yaa…, Nanti diterusin dirumah…, Kita pulang ke rumahmu saja sekarang…, Toh lagi kosong khan…, Tapi Tom menggir sebentar Tom, ibu pengen cium kamu di sini”, kata ibu dengan suara bergetar.
ooh aku jadi berdebar-debar sekali. Mungkin terpengaruh juga karena aku sudah satu minggu tidak bersetubuh dengan istriku. Aku jadi nafsu banget. Aku minggir di tempat yang agak gelap. Sebenarnya kaca mobilku juga sudah gelap, sehingga tidak takut ketahuan orang. Aku dan ibu mertuaku berangkulan, berciuman dengan lembut penuh kerinduan. Benar-benar, selama ini kami saling merindukan.
“eehhm…, Toom ibu kangen banget Toom”, bisik ibu mertuaku.
“Tomy juga buu”, bisikku.
“Toom…, udah dulu Tom…, eehmm udah dulu”, napas kami memburu.
“Ayo jalan lagi…, Hati-hati yaa”, kata ibu mertuaku.
“Buu penisku kejepit niih…, Sakit”, kataku.
“iich anak nakal”, Pahaku dicubitnya.
“Okey…, buka dulu ritsluitingnya”, katanya.
Cepat-cepat aku buka celanaku, aku turuni celana dalamku. Woo, langsung berdiri tegang banget. Tangan kiri ibu, aku tuntun untuk memegang penisku.
“Aduuh Toom. Gede banget pelirmu…, Biar ibu pegangin, Ayo jalan. Hati-hati setirnya”.
Aku masukkan persneling satu, dan mobil melaju pulang. Penisku dipegangi ibu mertuaku, jempolnya mengelus-elus kepala penisku dengan lembut. Aduuh, gelii… nikmat sekali. Mobil berjalan tenang, kami berdiam diri, tetapi tangan ibu terus memijat dan mengelus-elus penisku dengan lembut.
Sampai di rumahku, aku turun membuka pintu, dan langsung masuk garasi. Garasi aku tutup kembali. Kami bergandengan tangan masuk ke ruang tamu. Kami duduk di sofa dan berpandangan dengan penuh kerinduan. Suasana begitu hening dan romantis, kami berpelukan lagi, berciuman lagi, makin menggelora. Kami tumpahkan kerinduan kami. Aku ciumi ibu mertuaku dengan penuh nafsu. Aku rogoh buah dadanya yang selalu aku bayangkan, aduuh benar-benar besar dan lembut.
“Buu, Tomy kangen banget buu…, Tomy kangen banget”.
“Aduuh Toom, ibu juga…, Peluklah ibu Tom, peluklah ibu” nafasnya semakin memburu.
Matanya terpejam, aku ciumi matanya, pipinya, aku lumat bibirnya, dan lidahku aku masukkan ke mulutnya. Ibu agak kaget dan membuka matanya. Kemudian dengan serta-merta lidahku disedotnya dengan penuh nafsu.
“Eehhmm.., Tom, ibu belum pernah ciuman seperti ini…, Lagi Tom masukkan lidahmu ke mulut ibu”
Ibu mendorongku pelan, memandangku dengan mesra. Dirangkulnya lagi diriku dan berbisik, “Tom, bawalah Ibu ke kamar…, Enakan di kamar, jangan disini”.
Dengan berangkulan kami masuk ke kamar tengah yang kosong. Aku merasa tidak enak di tempat tidur kami. Aku merasa tidak enak dengan Riris apabila kami memakai tempat tidur di kamar kami.
“Bu kita pakai kamar tengah saja yaa”.
“Okey, Tom. Aku juga nggak enak pakai kamar tidurmu. Lebih bebas di kamar ini”, kata ibu mertuaku penuh pengertian. Aku remas pantatnya yang bahenol.
“iich.., dasar anak nakal”, ibu mertuaku merengut manja.
Kami duduk di tempat tidur, sambil beciuman aku buka pakaian ibu mertuaku. Aku sungguh terpesona dengan kulit ibuku yang putih bersih dan mulus dengan buah dadanya yang besar menggantung indah. Ibu aku rebahkan di tempat tidur. Celana dalamnya aku pelorotkan dan aku pelorotkan dari kakinya yang indah. Sekali lagi aku kagum melihat vagina ibu mertuaku yang tebal dengan bulunya yang tebal keriting. Seperti aku membayangkan selama ini, vagina ibu mertuaku benar menonjol ke atas terganjal pantatnya yang besar. Aku tidak tahan lagi memandang keindahan ibu mertuaku telentang di depanku. Aku buka pakaianku dan penisku sudah benar-benar tegak sempurna. Ibu mertuaku memandangku dengan tanpa berkedip. Kami saling merindukan kebersamaan ini. Aku berbaring miring di samping ibu mertuaku. Aku ciumi, kuraba, kuelus semuanya, dari bibirnya sampai pahanya yang mulus.
Aku remas lembut buah dadanya, kuelus perutnya, vaginanya, klitorisnya aku main-mainkan. Liangnya vaginanya sudah basah. Jariku aku basahi dengan cairan vagina ibu mertuaku, dan aku usapkan lembut di clitorisnya. Ibu menggelinjang keenakan dan mendesis-desis. Sementara peliku dipegang ibu dan dielus-elusnya. Kerinduan kami selama ini sudah mendesak untuk ditumpahkan dan dituntaskan malam ini. Ibu menggeliat-geliat, meremas-remas kepalaku dan rambutku, mengelus punggungku, pantatku, dan akhirnya memegang penisku yang sudah siap sedia masuk ke liang vagina ibu mertuaku.
“Buu, aku kaangen banget buu…, Tomyy kanget banget…, Tomy anak nakal buu..”, bisikku.
“Toom…, ibu juga. sshh…, masukin Toom…, masukin sekarang…, Ibu sudah pengiin banget Toom, Toomm…”, bisik ibuku tersengal-sengal. Aku naik ke atas ibu mertuaku bertelakn pada siku dan lututku.
Tangan kananku mengelus wajahnya, pipinya, hidungnya dan bibir ibu mertuaku. Kami berpandangan. Berpandangan sangat mesra. Penisku dituntunnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Ditempelkannya dan digesek-gesekan di bibir vaginanya, di clitorisnya. Tangan kirinya memegang pantatku, menekan turun sedikit dan melepaskan tekanannya memberi komando penisku.
Kaki ibu mertuaku dikangkangnya lebar-lebar, dan aku sudah tidak sabar lagi untuk masuk ke vagina ibu mertuaku. Kepala penisku mulai masuk, makin dalam, makin dalam dan akhirnya masuk semuanya sampai ke pangkalnya. Aku mulai turun naik dengan teratur, keluar masuk, keluar masuk dalam vagina yang basah dan licin. Aduuh enaak, enaak sekali.
“Masukkan separo saja Tom. Keluar-masukkan kepalanya yang besar ini…, Aduuh garis kepalanya enaak sekali”.
Nafsu kami semakin menggelora. Aku semakin cepat, semakin memompa penisku ke vagina ibu mertuaku. “Buu, Tomy masuk semua, masuk semua buu”
“Iyaa Toom, enaak banget. Pelirmu ngganjel banget. Gede banget rasane. Ibu marem banget” kami mendesis-desis, menggeliat-geliat, melenguh penuh kenikmatan. Sementara itu kakinya yang tadi mengangkang sekarang dirapatkan.
Aduuh, vaginanya tebal banget. Aku paling tidak tahan lagi kalau sudah begini. Aku semakin ngotot menyetubuhi ibu mertuaku, mencoblos vagina ibu mertuaku yang licin, yang tebal, yang sempit (karena sudah kontraksi mau puncak). Bunyinya kecepak-kecepok membuat aku semakin bernafsu. Aduuh, aku sudah tidak tahan lagi.
“Buu Tomy mau keluaar buu…, Aduuh buu.., enaak bangeet”.
“ssh…, hiiya Toom, keluariin Toom, keluarin”.
“Ibu juga mau muncaak, mau muncaak…, Toomm, Tomm, Teruss Toomm”, Kami berpagutan kuat-kuat. Napas kami terhenti. Penisku aku tekan kuat-kuat ke dalam vagina ibu mertuaku.
Pangkal penisku berdenyut-denyut. menyemprotlah sudah spermaku ke vagina ibu mertuaku. Kami bersama-sama menikmati puncak persetubuhan kami. Kerinduan, ketegangan kami tumpah sudah. Rasanya lemas sekali. Napas yang tadi hampir terputus semakin menurun.
Aku angkat badanku. Akan aku cabut penisku yang sudah menancap dari dalam liang vaginanya, tetapi ditahan ibu mertuaku.
“Biar di dalam dulu Toom…, Ayo miring, kamu berat sekali. Kamu nekad saja…, masa’ orang ditindih sekuatnya”, katanya sambil memencet hidungku. Kami miring, berhadapan, Ibu mertuaku memencet hidungku lagi, “Dasar anak kurang ajar…, Berani sama ibunya.., Masa ibunya dinaikin, Tapi Toom…, ibu nikmat banget, ‘marem’ banget. Ibu belum pernah merasakan seperti ini”.
“Buu, Tomy juga buu. Mungkin karena curian ini ya buu, bukan miliknya…, Punya bapaknya kok dimakan. Ibu juga, punya anakya kok ya dimakan, diminum”, kataku menggodanya.
“Huush, dasar anak nakal.., Ayo dilepas Toom.., Aduuh berantakan niih Spermamu pada tumpah di sprei, Keringatmu juga basahi tetek ibu niih”.
“Buu, malam ini ibu nggak usah pulang. Aku pengin dikelonin ibu malam ini. Aku pengin diteteki sampai pagi”, kataku.
“Ooh jangan cah bagus…, kalau dituruti Ibu juga penginnya begitu. Tapi tidak boleh begitu. Kalau ketahuan orang bisa geger deeh”, jawab ibuku.
“Tapi buu, Tomy rasanya emoh pisah sama ibu”.
“Hiyya, ibu tahu, tapi kita harus pakai otak dong. Toh, ibu tidak akan kabur.., justru kalau kita tidak hati-hati, semuanya akan bubar deh”.
Kami saling berpegangan tangan, berpandangan dengan mesra, berciuman lagi penuh kelembutan. Tiada kata-kata yang keluar, tidak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Kami saling mengasihi, antara ibu dan anak, antara seorang pria dan seorang wanita, kami tulus mengasihi satu sama lain.
Malam itu kami mandi bersama, saling menyabuni, menggosok, meraba dan membelai. Penisku dicuci oleh ibu mertuaku, sampai tegak lagi.
“Sudaah, sudaah, jangan nekad saja. Ayo nanti keburu malam”.
Malam itu sungguh sangat berkesan dalam hidupku. Hari-hari selanjutnya berjalan normal seperti biasanya. Kami saling menjaga diri. Kami menumpahkan kerinduan kami hanya apabila benar-benar aman. Tetapi kami banyak kesempatan untuk sekedar berciuman dan membelai. Kadang-kadang dengan berpandangan mata saja kami sudah menyalurkan kerinduan kami. Kami semakin sabar, semakain dewasa dalam menjaga hubungan cinta-kasih kami.

Aku seorang akuntan berinisial G (40 tahun), bekerja di sebuah Bank terkenal di Jakarta. Aku sudah menikah sejak 19 tahun yang lalu dengan seorang wanita yang sangat cantik, dan kami berdua telah dikaruniai seorang anak laki-laki tampan yang kini sudah beranjak dewasa. Hubungan keluarga kami dibilang sangat harmonis. Aku pintar membagi waktu antara mengurus pekerjaan, bergaul dengan orang-orang di lingkungan blok, serta memanjakan isteri dan ankku. Aku memang bukan seorang pengembara seks di luar, karena aku yakin isteriku selama ini sudah memberikan pelayanan seks yang sangat memuaskan, bak seorang servicer yang mampu memuaskan kliennya (aku). Tetapi sejak kecil (entah kelainan atau apa) aku sangat menyukai hal-hal yang berbau seks dan sebagainya. Aku sering menonton blue film dan membaca cerita-cerita panas yang merangsang otot kontolku berkontraksi.
Secara fisik, aku dinilai oleh orang-orang sebagai lelaki yang gagah. Wajahku ganteng seperti artis Hollywood, Tubuku kekar dan atletis, muka bersih, ditambah penampilanku yang mentereng menarik siapa saja yang melihatku. Tidak sedikit ibu-ibu satu blok (tetanggaku) yang memuji kegagahanku, dan tidak sedikit pula teman-teman kerjaku yang menyanjung ketampananku. Aku menjadi geer karenanya, karena itulah aku sering melakukan perawatan tubuh dengan ikutan fitnes ataupun ikut olah raga lain yang membuatku lebih terlihat gagah, berharap predikat ‘tampan’ masih kusandang melalui mulut orang-orang tersebut.
Di lingkungan satu blok, aku mempunyai seorang tetangga yang kebetulan adalah seorang dukun pijat. Namanya Mbok Waliah, orang-orang sering memanggilnya Mbok li atau Wak li. Wak li kini sudah berusia kepala tujuh (kira-kira 73 tahun )namun kemampuan pijatnya masih pintar dan dirasakan betul oleh para pelanggannya. Wak li kini hidup seorang diri di dalam gubuk pijat kesayangannya. Sang suami tercinta sudah 20 tahun meninggalkannya dan mereka sama sekali belum dikaruniai anak satupun. Wak li sebatang kara di usianya yang sudah renta itu dan hidup dengan menggantungkan usaha pijatnya sampai sekarang. Aku sendiri, jujur, belum pernah merasakan enaknya pijatan wak li yang menurut orang-orang pijatan wak li sangat mujarab menyembuhkan beberapa keluhan.
Meskipun aku belum merasakan pijatan lembutnya, tapi sampai saat ini, aku dan wak li cukup baik dalam hubungan tetangga. Wak li adalah sosok wanita tua yang baik dan penyayang, bahkan ia sering memanjakan anak laki-lakiku sejak anakku kecil. Hubungan ‘tetangga’ antara kami berdua pun mengalir dengan biasa-biasa saja, dan tidak disangka bila pada suatu siang hubungan itu melebur menjadi suatu hubungan yang intim layaknya sepasang suami isteri yang tengah dimabuk hasrat. Hubungan itu berubah secara tiba-tiba menjadi suatu hubungan yang lebih dekat karena dilatarbelakangi oleh nafsu birahi kami. Rasanya kami berdua pun seperti terbang bersama dalam udara kenikmatan dan kami pun tak mampu membendung betapa hasrat kami sangat kuat hingga kami ingin sekali melakukannya berulang-ulang sampai hasrat itu terpuaskan.
Siang itu(minggu), mendadak tubuhku pegal-pegal karena seminggu ini aku dan rekan-rekan kerjaku touring di beberapa kota untuk sekadar berekreasi. Sudah hampir seminggu isteriku pulang ke rumah orang tuanya karena mertuaku tiba-tiba sakit dan ia berniat merawat orang tuanya selama beberapa waktu. Anak laki-lakiku pun ikut dengan isteriku selagi sekarang adalah musim liburan semester untuk anak sekolah. Aku yang di rumah sendirian, tidak mempunyai pembantu, tidak ada orang lain, terpaksa mengerjakan segala tugas rumah seorang diri. Itu artinya, sudah seminggu aku tidak melakukan hubungan seks dengan isteriku sehingga kontolku ini berada dalam keadaan tegang yang luar biasa dahsyatnya. Dan di saat-saat seperti ini, dimana aku pegal-pegal di sekujur tubuhku (termasuk kontolku minta di service) tentu membuthkan seorang ahli pijat yang sanggup menyembuhkan keluhan pegalku ini.
Akhirnya, aku memutuskan diri minta bantuan wak li untuk memijatku. Dengan hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana jeans biru, aku pun mengunjungi gubug milik wak li yang cukup tua namun tertata rapi di dalamnya. Dan tentusaja wak li tidak menolak permintaanku karena aku ini tetangga yang lumayan dekat dengannya. Dan aku setuju-setuju saja, karena aku memang membuthkan pijatannya untuk menghilangkan rasa pegalku ini. Lalu kututup pintu rumah wak li supaya tidak ada orang lain yang melihatku sedang dipijit. Dan setelah masuk ke kamar wak li, wak li dengan siagap menutup gordyn kamarnya itu. Kupandangi kamar praktik wak li. Kamar itu sangat bersih dan rapi, kasurnya yang bersih ditutupi kelambu biru dan kesannya seperti kamar pengantin orang-orang India. Meskipun rumahnya hanyalah gubug yang mungkin sebentar lagi akan roboh kalau ada angin besar.
Aku pun disuruhnya melepas baju (telanjang dada) agar wak li bisa leluasa memijat pinggang dan dadaku. Ya sudahlah, aku menurut. Kulepas kaos oblongku, sehingga tubuh kekar ini tercetak dengan jelasnya dibasahi dengan peluh yang membanjiri dadaku karena siang ini udara begitu menyengat dan aku cukup lelah. Wak li sendiri hanya mengenakan jarit untuk menutupi bagian bawahnya dan bagian atasnya hanya ditutupi oleh singlet putih tanpa menggunakan BH seperti ibu-ibu wanita lainnya. Aku tengkurap di atas kasur itu, sementara wak li sudah mulai megoleskan minyak (entah namanya apa) ke bagian punggungku. Sambil memijat-mijat, aku bercengkarama dengannya.
“Mas G badannya kekar ya? Kelihatan perkasa nih, mas.”
Aku tersenyum nyinyir,”ah, enggak juga kok, Wak. Biasa aja kayak bapak-bapak lainnya.”
“Rahasianya apa supaya badannya bisa kekar kayak gitu, mas?”
“Cuma olah raga doang wak, nggak ada lain-lain.”
“Oh….,”hanya itu yang ditambakan.
Tak sampai lima belas menit, aku disuruh membalikkan badan. Tampak dadaku yang padat berisi dan susuku yang macho serta otot-otot tubuhku yang gagah di depan wak li. Wak li memandang sejenak dadaku. Lalu tersenyum, sepertinya ia suka dengan dadaku yang gagah ini. kemudian ia meraba bagian dadaku seperti sedang menggerayangi penuh nafsu. Sontak saja, kontolku yang memang udah sering ngaceng, jadi tambah ngaceng lagi karena rabaannya yang begitu halus. Aku diam saja. Wak li kemudian melakukan hal yang serupa: memijatku. Ah, sungguh rasanya dipijat di bagian dada oleh wak li sangat enak. Aku menyesal karena selama ini tidak pernah meminta bantuannya memijatku.
“Wak, bagian paha dan betis juga ya? Disitu juga pegel,”ujarku.
“Tapi celananya lepas dulu ya, mas. Biar wak enak mijitnya.”
Aduh, parah! Aku disuruh melepas celana jeasku! Aku cukup panik, bagaimana kalau wak li melihat kontolku ini sedang ngaceng ? Lagipula, aku Cuma pakai kolor renang yang sangat ketat. Sehingga kalau jeansnya kulepas, terlihat bagaimana besarnya kontolku itu mengembung di balik kolor renangku.
“Ya udah deh, wak,”aku bersikap seolah-olah pasrah saja. Biarin aja. Apa yang nanti terjadi, ya terjadilah.
Lima menit kemudian, tangan wak li beranjak melepas gesper / sabuk jeans ku. Matilah aku! Mau bagimanapun juga, kontol ini akan kelihatan ngaceng karena kolor renangku sangat ketat. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan kontolku untuk tidur selama beberapa saat, setidaknya sampai aku selesai dipijat wak li. Tapi tidak bisa. Kontol ini terus-menerus ngaceng seolah-olah kontol yang besar perkasa ini juga minta dipijat,minta ditarik-tarik, minta dikocok-kocok, minta diciumi, minta diemut-emut, dan yang nggak kalah penting kontol ini meminta sang empunya untuk menembakkan peluru yang warnanya putih pekat itu. Tau ah! Aku pun membantu wak li melepas celanaku.
Saat itu, yang tersisa hanyalah kolor renangku saja. Aku tidak memakai rangkapan celana dalam lain karena bagiku, kolor renang sajasudah cukup. Dan hanya dengan memakai kolor renangku saja, bendulan kontolku yang tercetak di kolor itu pun jelas terlihat. Wak li terkejut bukan main melihat bagian tengah kolor renangku tercetak dengan jelas kontol ini sedang berdiri. Lagi-lagi ia memandang sejenak bendulan besar kontolku, kemudian tersenyum nakal. Wak li lalu melanjutkan aksinya memijit bagian paha dan betisku berurutan. Perlahan rasa pegal di bagian bawah tubuhku ini pun hilang dengan pijatan yang hangat itu. Dan tinggal satu masalahku , yakni kontolku. Sungguh, aku sepertinya tidak mampu mengendalikan senjata ampuhku ini untuk sedikit melemas, karena setiap detik rasanya kontol ini berdenyut-denyut. Aku pun semakin khawatir kalau-kalau wak li memandang denyutan-denyutan kontol ini. Dan tanpa permisi, aku membetulkan letak kontolku sekaligus mengendalikan kontol ini agar tidak terlalu berdenyutan. Tetapi dengan mata yang masih tajam, wak li lagi-lagi melihatnya. Dan bukan hanya itu, reaksi wak li pun semakin berani dan ia menanyakan sesuatu yang semenstinya tidak sopan dipertanyakan oleh dua orang berlainan jenis yang tidak bersuami-isteri.
“Kenapa mas? Mas G kontolnya ngaceng ya?”
Aku terkejut. Sangat terkejut. Aku dibuat gugup mendengar pertanyaan wak li. Tapi namanya juga ‘sudah terlanjur’, mau tidak mau harus kujawab apa adanya,”e..eh..iya nih, wak! Tau kenapa dari tadi ngaceng mulu.”
“Udah berapa hari nggak ngocok mas?”
“Seminggu, wak. Tuh, sampe ngacengnya parah kaya gitu.”
Wak li hanya tersenyum. Sepertinya, ia iba melihatku menderita dengan kontol yang semakin ngaceng ini. Ia pun malah semakin nekat, tangan kanannya meraba dengan kasar bendulan kontolku yang tambah ngaceng kayak gini. Oh…..sungguh rasanya sentuhan tangan wak li membuatku sangat terangsang, dan yang terjadi kontolku malah terus-menerus berdenyut sehingga wak li pun bisa merasakan denyutan kontolku.
“Ini sih ngacengnya udah parah, mas. Keras banget kayak linggis. Udah minta muncrat tuh.”
“Iya, wak…bingung banget. Kayaknya abis ini aku mau ngocok deh,”
Wak li tersenyum nakal, sementara tangannya masih merabai kontolku. Aku pun menjadi gugup, berharap pertolongan selanjutnya datang dari wak li.
“Kalau kontolnya wak kocokin mau nggak, mas?”
Senang sekali aku mendengar tawarannya. Wak li yang selama ini baik terhadap keluargaku, dengan senang hati mau memberikanpelayanan servis pengganti isteriku. Aku tentu tidak menolak, karena aku ini memang butuh seseorang yang sementara ini bisa mengalihkan tugas isteriku, yakni seseorang yang memang bisa kuajak bekerjasama dalam memuaskan nafsuku.
“Mau-mau. Kontolku kocokin sekarang dong, wak. Udah nggak tahan nih.”
Tanpa basa basi wak li langsung melepas celana renangku. Dan dengan sigap,tangannya segera meraih kontol besarku. Aku pun membantunya melepas celana renangku sampai aku betul-betul telanjang bulat. Ah, baru kali ini aku telanjang bulat di hadapan oran lain yang bukan isteriku. Tapi aku suka sih. Dan yang kulakukan kemudian hanyalah menikmati kocokan wak li yang nanti akan menjadi kocokan paling spesial dan kocokannya akan selalu kukenang.
Wak li terangsang melihat kontolku yang panjangnya hampir 18cm dengan diameter 5cm, ditambah buah pelir / itil yang hangat plus rambut kelamin yang sangat lebat selebat hutan belantara. Kontol dan belahan dada kekarku sungguh menantang di hadapannya, seakan-akan inilah profil laki-laki gagah perkasa era tahun ini. Tangan kanan wak li meggenggam erat kontolku yang tegang, sementara tangan kirinya merabai buah pelir dan jembutku bergantian. Dan genggaman tangan itu sangat erat, bahkan sampai kepala kontolku ini mencuat dengan gagahnya hingga lubang kontol terlihat begitu indanya. Ada cairan lengket yang sedikit sudah muncul di permukaan lubang ini, cairan mani hasil pikiran jorok lelaki sepertiku.
Lubang kontol yang basah ini kemudian dibauinya, seperti kucing pemburu yang sedang membaui makanan kesayangannya. Ditempelkannya kepala kontolku pada lubang hidungnya, dan wak li pun bernafas sambil membaui kepala dan lubang kontolku dengan penuh nafsu. Kontol ini agak bau memang, tapi bau itulah yang justru membuatnya sangat terangsang.
“Baunya peju mas. Udah mau muncrat tuh.”
“Kocokin aja wak, aku nggak tahan nih.”
Tanpa berpikir panjang, wak li akhirnya melakukan apa yang aku minta. Tangan kanannya mengocok-kocok kontolku dengan gemasnya sedangkan tangan kirinya masih bermain-main dengan itil dan jembutku. Gila, rasanya nikmat sekali kocokan wak li. Aku terus menerus mendesah sambil membuka mulut karena hasrat yang tak kunjung terpuskan ini.
“Oh…wak li, ayo..ngocoknya tambah kenceng lagi dong. Biar tambah nikmat. Oh…oh….”
“Iya, mas. Ini kontolmu gede sekali. Pasti rasanya nikmat kalo dirasain.”
“Ya udah…diemut aja wak! Pokoknya kontolku ini diurus deh sampe muncrat. Nih!”ujarku penuh nafsu sambil ku rentangkan kakiki dan kupamerkan lebih jelas Mr.Big ku.
Aku sunggu tak kuasa menahan nafsu birahiku saat dia mengocok dengan gesit kontol ini. Kontol ini juga semakin menantang! Tubuhku bergetar- getar menahan gejolak yang muncul karena nikmatnya kocokan wak li. “Oh…oh…oh…terus wak! Oh…..”
Sementara dia masih dengan setianya mengocok-ngocok dan menarik-naik kontolku yang gagah perkasa ini. Edan, enak sekali kocokannya. Sangat nikmat rasanya. Meski dia suda tua, tapi dia begitu menggairahkan. Tidak ada salahnya kalau kucoba saja dia, itung-itung selain sebagai pelampiasan hasrat, aku membantu memenuhi kebutuhan biologisnya
Aku mendesah lebih keras lagi dengan suara erangan yang penuh dengan gairah. Kulihat diapun semakin kesenangan dengan apa yang sedang terjadi di dalam kamar itu. Sampai lima belas menit kemudian, tubuhku mengejang penuh gairah, serta kenikmatan ini rasanya telah mencapai puncak asmaraku. Crottt….peluru dahsyat berwarna putih pekat nan kental keluar seperti tembakan mitriliur. Spermaku muncrat deras dan sebagiannya melelehi tangannya yang sedang mengocok.
“Oh….oh….akhhhh……aku keluar, wak. Aku muncrat…”
Dia tidak banyak bicara. Dia sedang terobsesi dengan kontolku yang selalu menunjukkan pesona kejantananya. Diapun meninum semua sperma yang kukeluarkan dengan senangnya. Kontolku yang masih ngaceng, pun dia emut-emut dan dia sedot-sedot berharap ada tetesan sperma lagi yang keluar. Mulutnya belepotan penuh spermaku, karena memang saat itu aku banyak mengeluarkan cairan kental ini.
Setelah itu, perlahan kontolku tergolek lemas dan mengendur. Kontraksi kontol ini semakin berkurang karena aku sangat lemas. Namun wak li memang pintar. Ia melakukan segala cara, apapun agar kontolku ini kembali ngaceng dan kami siap melakukan permainan selanjutnya.
“Mas G, sebenernya wak sudah lama pengin main bareng mas G.Wak merasa bergairah dengan tubuh kekar mas G yang punya kontol hebat ini.”
Dia mengungkapkan curahan hatinya bahwa sudah lama dia terobsesi denganku. Baiklah, ini aji mumpung bagiku.
“Aku juga wak, gimana kalau hari ini kita puas-puasin aja main bareng?”
Dia langsung setuju. Wak li lalu melepas singlet putih yang dikenakannya, dan jelas terlihat gondelannya yang memukau membuatku ingin menggigitinya. Kuggiti dan kuemut-emut gondelan susunya itu. Dia mengeluh kegelian,, namun sebenarnya kesenangan dengan ulahku yang nakal ini. Perlakuaknku terus berlanjut dengan menciumi leher dan bahunya bergantian. Ciuman yang penuh nafsu birahi. Tapi bisa kupastikan dia selalu melenguh dan merintih kecil yang membuatku kembali bergairah melakukannya. Kurengkuh tubuhnya agar aku bisa menguasai penuh tubuh indah wak li. Tetap kucium-ciumi lehernya yang semampai dan menggairahkan itu. Wak Ii dengan gemas mencakar-cakar bahuku dan menjambak rambutku karena tidak tahan.
Ciuman itu kembali merajah ke bawah. Aku kembali menikmati susu wak li. Tangan kananku ini, dengan beringasnya melepaskan kain penutup wak li. Dia tidak menolak, malah bahkan membiarkan aksi brutalku ini. Kulepaskan kain penutup tubuh itu lalu kulemparkan ke bawah, kini tubuhnya yang sangat menggairahkan jelas terlihat di depan mataku. Woww…tubuh putih mungil, nan renta, membuatku ingin segera menguasainya. Memeknya merekah bersih tanpa sehelai bulupun. Aku pun beranjak meciumi bagian bawah tubuhnya. Dia sama sekali tidak mneolak. Kuperhatikan, dia mendongakkan kepalanya dan membuka mulutnya sambil mengeluarkan nafas. Lidahnya menari-nari di bibirnya karena hasrat.
Kugigiti pahanya dan dia tambah merasa nikmat dengan makin kerasnya pula desahannya. Dan setelah itu, aku lidahku bergelirnya menuju bagian tengah di antara dua pahanya, di bagian itulah lidah ini merasa menemukan gairah untuk menjilatinya. Menjilati bagian lunak itu. Lidah ini kumain-mainkan dengan otot-otot mulutku yang kuat, menjilati bagian bibir memeknya yang lembek. Kemudian masuk ke bagian yang lebih dalam lagi dari bibirnya. Disana, mulutku menemukan klitorisnya. Kugigit-gigit dengan ganas dan diapun semakin menjadi-jadi erangannya. Tangan wak li yang lincah, tetap menjambak-jambakkan rambutku, namun tidak bermaksud menarik kepalaku dari bagian nikmat itu. Malah justru terkesan menekan-nekan kepalaku ini agar aku terus menguasai memeknya.
Kemudian dengan tiba-tiba, dia terbaring dan melentangkan pahanya agar aku bisa menguasai dengan penuh betapa enak memeknya. Akupun semakin bersemangat. Kulakukan pemanasan ini dalam dua puluh menit di bagian itu, dan diapun mengalami orgasme pertamanya. Ada cairan putih kental yang juga keluar dari memeknya, yang beriringan dengan suara erangan mulutnya karena tidak tahan. Kucabut lidahku dari bagian itu, dan memeknya yang basah kuyup kusodok-sodok dengan jari tengahku sehingga ia pun semakin mengerang penuh iba. Sejenak kemudian, tubuh wak li terkulai lemas seperti kapas yang tertiup angin. Nafasnya masih terengah-engah dengan lidah yang masih menari di bibirnya.
Kutindihi tubuh wak li. Kami pun saling berpagutan. Kuciumi kembali lehernya yang menggairahkan dan pipinya yang kempot nan manis kujilat-jilati. Hidungnya yang mancung sedang memohon pada mulutku untuk dikulum. Kukulum hidungnya sehingga diapun gelagapan seperti orang yang kehabisan nafas. Kemudian, kukecup bibirnya dan diapun membalas kecupanku dengan hot. Kami saling berciuman, saling berbagi ludah, dan lidah kami saling berpagutan. Kami cukup lama melakukan ini hingga sampailah kami pada permainan inti.
Dengan sanga perkasanya, kontolku kembali ngaceng. Kupertontonkan tubuhku di hadapan wak li. Dia masih dalam keadaan terangsang dengan memainkan lidah serta putting susunya yang menggoda. Di hadapan dia, kukocok kembali kontolku dengan kocokan yang lebih cepat dan dengan gaya menantang ala pria perkasa. Setelah puas dengan aksiku, aku kembali menindihinya dan kumasukkan lubang kontolku ini ke dalam memeknya. Memek yang merekah itu kubobol.
Blessss……..memek wak li terasa empuk saat kutusukkan senjata pamungkasku. Dia merintih keenakan, dan pasrah dengan bagaimana nanti kelakuanku. Kugoyang-goyangkan maju mundur pantatku dan otomatis memek itu kusodok dengan stick keras kepunyaanku. Wak li semakin menggila, ia memukul-mukul punggungku dengan gemas karena tidak tahan. Suara mendesah dan merintihnya pun semakin keras.
“Oh…mas, mas, kamu edan mas! Edan”
“Eenak kan wak? Ayooo ngaku, kontolku enak enggakkkkk? Akhhh….”
“Ohh,oh…enak sekali mas, oh…kontolnya gede banget mas. Marem banget. Wak seneng banget. Oh…”
“Iya wak…oh….oh….tterus mmendesahnya wak. Oh,…wak li, memekmu sangat menggairahkan. Aku mau kalau tiap hari kayak gini wak.”
“Ahhh…ah….oh…terus mas, terus dorong dorong bokongnya. Oh….edan kamu mas! Kamu edan!”
“Nikmat wak….rrrasanya eenak ssekalii. Ohhh…oh….memekmu wak…memekmu, ohhhhh.”
“Kontolmu mas…kontolmu,,,edan kamu mas! Kontolmuuu.”
Desahannya semakin mengerang, aku pun khawatir akan ada tetangga yang memergoki kami bercinta di kamar yang kasurnya berselubung kelambu biru ini. Untuk mengantisipasi hal ini, kembali kukulum hidungnya dan kucum bibirnya bergantian agar ia tidak memberontak dengan suara erangannya. Tangannya yang lincah sering berpindah-pindah menahan rasa geli bercampur nikmat akibat sodokan kontolku. Sesekali menggebuk-gebukkan bahuku, sesekali menjambak rambutku, menjambak sprei kasurnya, ataupun menjangkau barang-barang apapun yang bisa ia genggam menahan sodokan kontolku. Tidak jarang pula kedua kakinya yang terlentang ia angkat atau ia lipat meliliti bokongku bergantian. Lima menit kemudian, ia berhasil mengalami orgasme keduanya. Membuat sodokanku lebih kencang dalam melakukannya, ditambah ada air segar yang melicinkan jalan senggama kami.
“Ahhh…ah…ah…..embhhh…akhhhh, mas,,,,,”begitu desahnya karena tidak tahan.
Sedangkan kontol ini masih buas-buasnya menjelajahi alam bawah perutnya itu. Tetap kudorong-dorong pantatku dan kusodok-sodok memeknya. Kami bercinta dengan gaya tradisional, misionaris. Kenyal dan nikmat terasa betul saat kulakukan adegan ini dengan penuh gairah. Sekitar dua puluh menit kami saling mendesah, saling menunjukkan ekspresi yang membuatnya masing-masing bergairah, dan saling berperang alat kelamin, tiba juga aku di puncak asmaraku yang kedua.
Crotttt…crot…..srrrr….,spermaku muncrat lagi di dalam liang senggamanya. Kuyakin ia bisa merasakan dengan betul hangatnya semprotan spermaku ini. Aku masih menunjukkan ekpresi orang yang sedang mencapai puncak, terus mendesah-desah nikmat di hadapannya. Dan bokongku tidak henti-hentinya maju mundur sampai spermaku habis menyemprotnya.
Aku kembali tergolek lemas dan jatuh tertelengkup di atas tubuh wak li. Nafasku terengah-engah merasakan sisa kenikmatan yang masih kurasa saat kontolku masih gagah berdenyut-denyut. Wak li pun demikian. Ia membelai rambutku sebagai pertanda rasa sayang karena memuji kejantananku. Hari ini, aku berhasil menggagahinya.
“Oh…wak li, memekmu ini bener-bener kenyal, empot-empot rasanya. Aku pengin tiap hari kita kayak gini, Wak.”
“Iya mas, mas G juga gagah, ganteng, perkasa lagi. Mas G bisa bikin wak keluar dua kali. Edan kamu ini, mas.”
Kami saling memuji kelebihan kami masing-masing dalam membagi keromantisan yang terjadi hari ini. Setelah itu, kukecup lagi bibir wak li dengan sangat gemasnya.
Aku mencabut kontolku yang kian melemas. Kontol ini sudah basah karena berperang di dalam medan petempuran milik wak li yang sangat menyenangkan. Lalu, aku berbaring di samping wak li yang sama-sama lemas. Kami pun kembali berciuman karena rasa sayang. Tanpa kami sadari, kami terlalu larut dalam kenikmatan yang membuat kami kelelahan. Kami pun tertidur pulas dalam keadaan sama-sama telanjang.
Jam 4 sore aku terbangun dan dia masih tertidur damai di sampingku. Senang sekali aku melihatnya. Dia tertidur dengan gayanya yang manja. Lalu kucium lagi pipi dan hidungnya bergantian sebagai tanda sayang. Dan lagi-lagi, kontol ini kembali berontak. Kontol ini kembali gagah perkasa ingin melakukan aktivitas seksual yang beberapa jam lalu kami lakukan. Tanpa permisi, kunaiki tubuh wak li dan kusodok lagi memek wak li. Dia terbangun dan mewajari kelakuan nakalku yang memang edan ini.
“Wak, aku ngaceng lagi. Kayaknya aku pengin lagi nih,”ucapku penuh birahi.
Dia diam saja melihat ulahku. Pasrah. Akupun kembali melakukannya dengan gaya bercinta yang sama. Sekitar lima dua puluh lima menit aku melakukan peperangan di dalam memek wak li. Bedanya dengan yang sebelumnya, kali ini spermaku kusemprotkan di luar. Saat aku hampir mencapai klimask, kutarik kontolku dan kujulurkan benda kebanggaanku di depan mukanya. Kukocok-kocok dengan tanganku dan kontol ini kembali memuntahkan spermanya. Sperma itu tumpah ruah di muka wak li.
Setelah itu, tanpa ba-bi-bu lagi, kusudahi permainan di ranjang kenikmatan ini meski kami tidak ingin mengakhirinya. Tapi hari sudah sore dan orang-orang akan mencurigai ada apa di dalam rumah wak li yang sejak tadi siang pintunya tertutup. Kukenakan lagi pakaianku yang tercecer di bawah. Sebelum pulang, kucium lagi bibirnya dan ia pun membalas ciuman bibirku.
Dan semenjak kejadian itu, hubungan kami berdua semakin harmonis. Esoknya saat matahari menjelang pergi, kuajak dia ke rumahku dan kami kembali melakukan pertarungan dahsyat di kamarku. Kuperbolehkan dia mengerang keras sekeras-kerasnya saat kusodok, karena kamarku memang didesain sebagai ruangan kedap suara. Sore itu hingga malam kami melakukannya sebanyak empat kali di tempat yang bergantian. Di kamarku, di ruang tengah sambil nonton TV, di mobil, dan di kamar mandi sambil saling memandikan. Kami pun bermalas-malasan dan selama jam-jam itu kami sama-sama telanjang bulat meski kami tidak sedang melakukannya.
Dan ketika pagi datang, aku kembali melakukannya di kamarku yang hangat. Orang-orang di luar sudah mulai bertanya-tanya dimana wak li. Dan saat aku keluar rumah, mereka sempat menanyaiku, namun kujawab aku tidak tahu dimana. Padahal, dia ada di dalam rumahku dan sedang menjadi simpananku yang setia melayani nafsu birahiku.
Sampai disitu, aku dikejutkan dengan berita bahwa istriku akan pulang dengan anakku. Cepat-cepat kusudahi permainan ini, sehingga dia kukembalikan ke habitat semulanya di tempat yang sangat kurindukan sebagai penyedia obat pemuasku saat pertama kali aku menyetubuhinya. Beberapa jam kemudian istriku datang dan aku kembali menjalani hari-hariku dengan keluargaku. Namun meski begitu, aku dan wak li tetap melakukan hubungan seks layaknya suami isteri. Kadang aku berbohong kalau akan ikut ronda malam bergabung bersama Bapak-bapak kompleks lain, namun sebenarnya aku tengah menginap di rumah wak li dan melakukan kebiasaan menyenangkan ini. Kadang pula Wak li bermain di rumahku dan mengobrol dengan isteriku. Dan saat itu, kubujuk istriku untuk pergi ke warung di kompleks sebelah sekadar membeli makanan ringan untuk wak li, padahal agar aku bisa memanfaatkan waktu yang sangat berkualitas ini. Meski singkat, aku tetap menikmatinya dengan cukup beronani di hadapannya dalam keadaan telanjang bulat. Dan kadang pula, saat isteriku kerja dan aku sedang dalam masa cuti, kupergunakan waktuku ini dengan membagi kasih sayang denga wak li sehingga kami tetap melakukan hubungan seks seperti suami isteri pada umumnya.
Begitulah ceritaku dengan wak li, janda tua yang sangat menggairahkan. Bayangannya selalu muncul saat aku menyetubuhi istriku. Dan sampai sekarang, hubungan kami masih berlanjut.

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!